Penggunaan alat kontrasepsi bagi kalangan pria tampaknya masih belum bisa dikatakan membudaya. Ini terbukti denga penelitian terakhir di daerah Palembang yang menyatakan bahwa hanya 2,9 persen laki-laki di sana menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom. “Sebagian besar peserta KB di Palembang masih didominasi oleh wanita. Ini menjadi bukti masih sangat sedikit pria yang mau menggunakan alat kontrasepsi,” ucap Ketua Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KBPK) BKKBN, Drs. KH. Kamaludin sebagaimana dikutip Antara saat seminar KB di Palembang, Rabu (16/3) lalu. “Oleh karena itu ke depan perlu ditingkatkan sosialisasi penggunaannya agar program KB makin berhasil”. Menurutnya, belum membudayanya penggunaan alat kontrasepsi ini banyak faktor yang melingkupinya. Salah satunya karena masih kurang tersedianya jenis alat kontrasepsi untuk jenis kelamin pria. Selain itu menurutnya hal ini terjadi lantaran karena masih adanya persepsi di kalangan ini bahwa masalah KB adalah urusan wanita.Namun secara garis besar Kamaludin mengatakan, secara kualitas sudah ada perbaikan kesadaran di kalangan pria tentang pentingnya keluarganya mengikuti program KB. “Dulu orang akan marah jika istrinya ikut program KB, tetapi sekarang hal tersebut sangat jarang terjadi dan ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran tentang pentingnya program KB di kalangan pria,” tambahnya.
Kesehatan Reproduksi Sementara itu pembicara lainnya, Tuti dari Dinas Kesehatan Palembang mengatakan, 65 persen wanita hamil dalam kondisi yang terlalu muda. Berumur di bawah 20 tahun, terlalu tua atau di atas 35 tahun, terlalu sering atau jaraknya di bawah dua tahun serta terlalu banyak atau lebih dari tiga anak.Dikatakannya, untuk mengatasi masalah tersebut perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan reproduksi esensial dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, program KB, kesehatan reproduksi remaja serta pencegahan/penanggulangan PMS atau HIV/AIDS.Hingga kini diketahui bahwa kesehatan reproduksi di kalangan remaja memang masih sangat mengkhawatirkan. Bahkan menurut Institut Allan Guttmacher, sebuah LSM yang khusus melakukan riset-riset di bidang ini menyatakan bahwa penyebab masih rendahnya tingkat kesehatan reproduksi wanita dunia disebabkan berbagai hal. Salah satunya karena sebagian besar perempuan muda dunia mulai aktif secara seksual pada umur belasan tahun. Proporsi kasarnya di negara-negara Amerika Latin dan Karibia, sekitar setengah sampai dua pertiga wanita melakukan hal tersebut. Sedangkan di negara-negara maju mencapai tiga perempat atau bahkan lebih. Di negara-negara Afrika lebih dari sembilan berbanding sepuluh. Kemudian adanya paradigma lama di sebagian masyarakat, bahwa perempuan harus melakukan hubungan seks pada masa remaja. Karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia muda. Sedangkan pada masyarakat lainnya, pernikahan biasanya dilangsungkan pada usia sedikit tua, tetapi seks pranikah dianggap biasa. Ini bisa dikatakan menjadi masa transisi dari norma tradisional ke modern. Namun terlepas dari berbagai norma tersebut, memang pada kenyataannya angka perempuan muda yang melakukan hubungan seksual pada waktu remaja memang tidak beranjak jauh pelakunya. Padahal hubungan seksual yang dimulai pada usia muda mengandung risiko-risiko yang tidak bisa dianggap remeh. Seperti contohnya, para perempuan yang menikah pada usia muda, sering tidak bisa banyak mendapat hak bicara dalam keluarga. Begitu pula dalam pengambilan keputusan mengenai kapan bisa melahirkan atau tidak. Perempuan, baik yang menikah maupun tidak, sangat rentan terhadap penyakit menular seksual. Serta perempuan yang sering melahirkan mengandung risiko melemah kesehatannya.
Kesehatan Reproduksi Sementara itu pembicara lainnya, Tuti dari Dinas Kesehatan Palembang mengatakan, 65 persen wanita hamil dalam kondisi yang terlalu muda. Berumur di bawah 20 tahun, terlalu tua atau di atas 35 tahun, terlalu sering atau jaraknya di bawah dua tahun serta terlalu banyak atau lebih dari tiga anak.Dikatakannya, untuk mengatasi masalah tersebut perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan reproduksi esensial dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, program KB, kesehatan reproduksi remaja serta pencegahan/penanggulangan PMS atau HIV/AIDS.Hingga kini diketahui bahwa kesehatan reproduksi di kalangan remaja memang masih sangat mengkhawatirkan. Bahkan menurut Institut Allan Guttmacher, sebuah LSM yang khusus melakukan riset-riset di bidang ini menyatakan bahwa penyebab masih rendahnya tingkat kesehatan reproduksi wanita dunia disebabkan berbagai hal. Salah satunya karena sebagian besar perempuan muda dunia mulai aktif secara seksual pada umur belasan tahun. Proporsi kasarnya di negara-negara Amerika Latin dan Karibia, sekitar setengah sampai dua pertiga wanita melakukan hal tersebut. Sedangkan di negara-negara maju mencapai tiga perempat atau bahkan lebih. Di negara-negara Afrika lebih dari sembilan berbanding sepuluh. Kemudian adanya paradigma lama di sebagian masyarakat, bahwa perempuan harus melakukan hubungan seks pada masa remaja. Karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia muda. Sedangkan pada masyarakat lainnya, pernikahan biasanya dilangsungkan pada usia sedikit tua, tetapi seks pranikah dianggap biasa. Ini bisa dikatakan menjadi masa transisi dari norma tradisional ke modern. Namun terlepas dari berbagai norma tersebut, memang pada kenyataannya angka perempuan muda yang melakukan hubungan seksual pada waktu remaja memang tidak beranjak jauh pelakunya. Padahal hubungan seksual yang dimulai pada usia muda mengandung risiko-risiko yang tidak bisa dianggap remeh. Seperti contohnya, para perempuan yang menikah pada usia muda, sering tidak bisa banyak mendapat hak bicara dalam keluarga. Begitu pula dalam pengambilan keputusan mengenai kapan bisa melahirkan atau tidak. Perempuan, baik yang menikah maupun tidak, sangat rentan terhadap penyakit menular seksual. Serta perempuan yang sering melahirkan mengandung risiko melemah kesehatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar