TEKATKAN DIRI UNTUK STOP MEROKOK
Berhenti merokok sepertinya mudah,tetapi kenyataannya orang yang sudah terikat dengan rokok sangat sulit untuk berhenti.Mungkin sudah banyak cara yang di lakukan untuk berhenti,tetapi tetap saja masih merokok.Padahal di setiap BandRool rokok itu sendiri sudah ada tulisan peringatannya Seperti:
MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER ,SERANGAN JANTUNG,IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN SERTA JANIN.Udah di peringatkan seperti itupun masih juga merokok.Berbahayakan..??
Nah kalau begitu kenapa tidak mencoba tips berikut ini untuk berhenti merokok.:
1.MULAI DENGAN KEBIASAAN YANG BAIK.
Untuk merubah kebiasaan yang sering di lakukan harus juga dengan melakukan
kebiasaan lain,seperti makan permen.makan buah-buahan atau menggigit cengkeh,dan
lain-lain.Sebab sering kali yang membuat sulit berhenti merokokadalah karena
sugesti untuk merokok yang sudah menjadi kebiasaan.
2.TANAMKAN KESADARAN KEPADA DIRI PRIBADI YANG KUAT UNTUK BERHENTI.
Sadarlah bahwa rokok itu adalah racun yang kerjanya sangat lambat tetapi
mematikan.Bangunkan kesadaran diri yang kuat dan lihat dengan jelas bahaya yang di
akibatkan asap rokok adalah sangat-sangat berbahaya bagi kesehatan dan mulailah
untuk berhenti merokok.
Jangan tunggu jantung diri sendiri berhenti lebih dahulu,baru berhenti
merokok.Tetapi berhentilah sekarang dan katanlah itu kepada diri sendiri bahwa
saya harus berhenti sekarang.
3.BUAT KEPUTUSAN TOTAL UNTUK BERHENTI MEROKOK
Bila mau berhenti merokok harus sekaligus berhenti,jangan setengah-setengah atau
jangan seoerti ini;
sehari satu batang dahulu,nanti seminggu satu batang juga,lama-lama…,sehari
sebungkus lagi.
Bulatkan tekat pada diri sendiri bahwa keputusan untuk berhenti merokok tidak bisa
di ganggu gugat. Itu adalah keputusan total dan jangan pernah sentuh lagi itu
sampai kapanpun..!!!
4.MULAILAH DENGAN PERGAULAN YANG SEHAT
Pergaulan yang buruk akan membawa pada kebiasaan yang buruk.Jadi berusahalah jauhi
teman- teman yang merokok,tapi bukan bearti memutuskan hubungannya sebagai
teman.Bila di tawari katakana dengan sungguh-sungguh bahwa kamu sendiri sudah
berhenti merokok dengan perasaan bangga. Sebab mereka juga pasti ingin berhenti
tapi tidak mampu saja.Daripada sendiri tertular dan menjadi perokok pasif yang
pada akhirnya dapat terkena dampak negatifnya juga dari rokok,lebih baik menjauh.
Mulailah memiliki pergaulan yang sehat demi menjaga kesehatan.
5.ISI JIWA DAN RAGA ANDA DENGAN KEROHANIAN.
Hal yang paling perlu di lakukan adalah menyadari bahwa merokok itu membuat kita
terikat dengan rokok dan itu bearti berdosa. Dosa itu adalah kejahatan di mata
Tuhan.
Kalu kita berhenti merokok,kita bukan hanya menjaga tubuh kita tatap sehat,tetapi
menyenangkan hati Tuhan juga.Oleh karena itu berhentilah meroko,lakukan dengan
kekuatan dan niat yang tulus dan minta pertolongan Tuhan. Niscaya Pasti bias.
Nah Mudah bukan,Semoga bermanfaat bagi siapa saja.
Rabu, 30 April 2008
Jumat, 25 April 2008
Jantung sehat berkat minyak ikan
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa bagi mereka yang berusia tua, minyak ikan dapat membantu menjaga kesehatan jantung dengan cara mempengaruhi aktifitas elektrikalnya. Diketahui bahwa dua potong ikan yang mengandung asam lemak omega 3 yang dikonsumsi tiap minggunya, dengan cara dipanggang atau direbus, tetapi tidak digoreng, sangat baik untuk kesehatan jantung. Pernyataan tersebut telah dilaporkan dalam Journal of The American College of Cardiology. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang juga menyimpulkan bahwa dengan membiasakan konsumsi ikan, maka akan dapat mengurangi risiko terjadinya kematian mendadak. Sebelumnya memang telah diketahui bahwa konsumsi ikan tuna, makarel, dan salmon merupakan jenis ikan yang kaya akan kandungan asam lemak omega 3, yang terbukti sangat berguna untuk jantung. Penelitian ini dilakukan melalui analisis data terhadap lebih dari 5.000 pria dan wanita berusia 65 tahun atau lebih. Para partisipan tersebut diberi pertanyaan tentang kebiasaan makan mereka, misalnya ikan atau jenis makanan lainnya. Hasil jawaban tentang diet mereka kemudian dibandingkan dengan tes elektrokardiografi yang dilakukan pada setiap partisipan tersebut. Para peneliti menjelaskan bahwa efek konsumsi ikan terhadap kesehatan jantung yaitu menurunkan frekuensi detak jantung, memperlambat interval antara saat jantung menerima sinyal untuk memompakan darah dan saat darah dipompakan, serta membuat sistem elektrikal jantung lebih teratur kembali setelah sekali pompa. Perlu diketahui, jantung akan selalu melakukan setting ulang terhadap aktifitas elektrikalnya setelah satu kali pompa. Bila terjadi gangguan di jantung, maka aktifitas untuk melakukan setting tersebut akan mengalami perlambatan dan akibatnya bisa berbahaya. Sumber : Journal of The American College of Cardiology
Manfaat Teknologi Nuklir dan Air Bersih
Air tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena sejak sekarang kita harus sudah mulai mempersiapkan diri mengantisipasi krisis air yang mungkin terjadi. Seiring hal itu dalam perkembangan kemajuan teknologi yang kian canggih dengan melalui pemanfaatan teknologi nuklir dapat dilakukan produksi air bersih dengan pemanfaatan sumber air laut. Caranya dengan pemisahan garam dari air laut yang populer disebut desalinasi air. Melalui proses desalinasi, akan dihasilkan air bersih yang terpisah dari garam. Garamnya sendiri bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku industri garam. Dengan desalinasi air laut yang memanfaatkan teknologi nuklir tersebut, pasokan air bersih tidak hanya tergantung kepada air gunung. Indonesia yang memiliki lautan yang begitu luas, air laut tersebut amat sangat bisa dimanfaatkan bagi produksi air tawar bersih siap pakai. Pemanfaatan teknologi nuklir bagi pengadaan air selain desalinasi, juga bisa digunakan untuk pencarian air tanah dalam. Dengan pemanfaatan desalinasi air laut tersebut, maka selain pasokan air bersih yang aman, sehat dan berkesinambungan dapat selalu terpenuhi oleh kita semua.
Wanita.....
wanita memang lebih identik dengan keindahan. Kaum pria mengagumi banyak hal tentang wanita. Namun di balik keindahan itu, banyak beban dan derita yang dialami kaum wanita. Bekerja rangkap: mengurus rumah tangga, bekerja di luar rumah untuk menopang ekonomi keluarga, dan aktivitas lain yang bias menguras tenaga dan pikirannya. Tingkat kesehatan wanita Indonesia disinyalir masih cukup rendah. Emosi, tekanan fisik dan mental lantaran kondisi ekonomi keluarga yang buruk semakin membuat kaum wanita menjadi gampang terserang stress dan depresi. Wanita pun lebih mudah sedih dan kehilangan sesuatu yang dicintainya ketimbang pria. "semakin besar ikatan emosi wanita terhadap sesuatu, semakin besar kecenderungannya mengalami depresi," kata Heather A. Turner, professor ilmu social di University of New Hampshire, Durham. Secara psikomatematis diakui, wanita memang lebih rentan mengalami depresi, 2,5 kali lebih besar ketimbang pria. Sebabnya antara lain karena tingginya ikatan emosi mereka terhadap orang lain dan lingkungannya. Seperti diungkapkan dalam journal of Health and Social Behavior, wanita memang lebih cepat memainkan perasaanya dan lebih mudah merasa kehilangan terhadap sesuatu. Apalagi sesuatu itu yang dicintainya. Wanita yang memiliki pendidikan tinggi pun demikian, meskipun tak tampak secara kasat mata, karena sepertinya "ditutup-tutupi", atau tertutup oleh keindahan luar yang nampak anggun? Yang terlihat jelas adalah bahwa tingkat kesehatan kaum wanita memang masih rendah. Menurut Dr. Kartono Muhammad, meski kesadaran akan kesehatan relative tinggi, secara umum tingkat kesehatan wanita di Indonesia masih cukup rendah. Mereka yang tampaknya tak memiliki keluhan apa-apa, belum tentu sehat. "Sulit sekali mengatakan apakah wanita dan ibu Indonesia kini lebih sehat," kata Kartono. Secara biologis saja, wanita memang mengalami masalah kesehatan reproduksi, seperti kehamilan, persalaian, menyusui, dan sejenisnya. Wanita juga rentan terkena infeksi pada saluran reproduksi. Belum lagi soal tekanan mental akibat masalah ekonomi yang sulit. Ini jelas bias mempengaruhi kesehatan kaum wanita. Dalam soal program keluarga berencana (KB) misalnya, wanita jelas lebih berat menganggung resiko. Dari data akseptor, peserta KB pria jauh lebih sedikit disbanding wanita. Cuma sekitar 1,3 persen dari jumlah keseluruhan akseptor di Indonesia. Sekitar 0,7 persennya melalui Medis Operasi Pria (MOP) dan 0,6 persennya menggunakan kondom. Sementara untuk wanita, berbagai jenis alat KB dikembangkan sangat signifikan. Banyak sekali produk dan merek alat kontrasepsi baru yang muncul. Malah dikhawatirkan, boleh jadi wanita dijadikan obyek produk-produk baru itu, menambah tingginya resiko yang akan ditanggung oleh wanita. Dalam hubungan itulah Ketua BKKBN, Dr. Soemarjati Arjoso, menganjurkan adanya infored choice dan informed consent. Yang pertama, merupakan hak para akseptor KB untuk memilih jenis KB yang sesuai bagi dirinya, itu pun seharusnya berdasarkan kecocokan, baik dari efek sampingnya, maupun kenyamanan bagi dirinya sendiri. Persoalan KB ini pun sesungguhnya bukanhanya persoalan kaumibu atau wanita, tapi juag pasangannya. Suami harus mengetahui jenis KB apa yang digunakan isterinya sehingga ia pun turut terlibat dan bertanggung jawab. Itulah yang dimaksud dengan informed consent dimana pasangan suami-isteri menyatakan peretujuannya untuk pemasangan jenis KB tertentu. Informed consent ini berlaku juga untuk jenis KB seperti IUD, Medis Operasi Pria (MOP) dan Medis Operasi Wanita (MOW). Tujuannya adalah aga KB juga merupakan urusan pria. Namun menurut Dr. Sartono Muhammad, kepentingan dan hak pasien dalam hal KB kini tak diperhatikan lagi. Makanya ia menyarankan agar saran BKKBN berkaitan dengan pernyataan persetujuan kedua belah pihak untuk ber-KB (informed consent) ditiadakan. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran informed consent itu disalahgunakan. Justru dalam konteks itulah Dr. Soemarjati Arjoso menegaskan, masalah KB dan kesehatan wanita memang merupakan tanggung jawab bersama pasangan suami-isteri. Menurut dia, semua pihak pun harus mengatasi permasalahan ini. Angka Kematian Ibu Pada sisi lain, angka kematian ibu (AKI) bersalin masih tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Gulardi dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Karena itu perhatian perlu ditingkatkan pada persoalan ibu. Kaitannya sangat erat dengan kependudukan dan kondisi social ekonomi atau kemiskinan di masyarakat, katanya. berdasarkan data yang ada, AKI saat melahirkan di Indonesia masih terbilang tinggi. Bahkan tertinggi di Asia Tenggara. AKI di Indonesia 8,5 kali lebih besar ketimbang AKI di Thailand. Pada tahun 2002 misalnya, terdapat angka AKI dalam proes persalinan 391 per 10.000 ini meningkat dari tahun sebelumnya. (373 per 10.000). Kaum wanita juga disinyalir banyak yang menderita anemia (kekurangan darah). Ada sinyalemen yang menyatakan bahwa kemungkinan sekitar 60 persen wanita usia wanita produktif di Indonesia mengidap penyakit anemia. Pernyataan itu memang tidak terlalu mengherankan. Karena di dunia menurut beberapa hasil penelitian, 1 di antara 6 orang mengalami anemia. Wanita yang menggunakan KB IUD pun tak lepas dari "hantu" anemia. Sebuah penelitian menyebutkan 10 persen wanita pada masa reproduksinya mengalami defisiansi zat besi dan 2-5 persen diantaranya menaglaami anemia. Resiko wanita yang melahirkan anak kembar juga sangat besar, mencapai 27 persen. Setelah melahirkan dan mengalami pendarahn, sekitar 5-10 persennya akan mengalami anemia. Juga, menurut catatan Depkes RI, 9 dari 10 ibu hamil di Indonesia menderita anemia dan 30 persen kematian saat melhirkan disebabkan karena anemia. Kalau diamati pola makan pada kelompok masyarakat tertentu, anak perempuan lebih sdikit mendapat jatah makannya ketimbang anak laki-laki. Atau terkadang anak perempuan memang lebih sedikit makannya. Wanita boleh dibilang "kurang rakus". Akibatnya wajar kalu anak perempuan kekurangan nutrisi, sehingga mereka kekurangan energi dan mengalami anemia. Demikian juga dalam soal pendidikan. Bagian besar masyarakat pedesaan masih "membatasi" anak perempuan dalam mengenyam pendidikan. Sehingga kesadaran dan pengetahuan anak perempuan terhadap kesehatan menjadi lebih minim ketimbang anak laki-laki. Itulah yang menyebabkan kalau kemampuan wanita untuk hidup sehat menjadi rendah. Namun pada sisi lain, dalam kehidupan keluarga banyak wanita dituntut bekerja ekstra. Selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga, wanita harus pula melakukan pekerjaan yang sifatnya menopang ekonomi keluarga, sehingga mereka menghadapi beban ganda (double burden), baik lantaran terpaksa atau karena memang sudah merupakan "kesenangan" wanita itu sendiri. Belum lagi soal pencegahan atau perlindungan kaum wanita terhadap penyakit HIV/AIDS. Posisi wanita lebih rentan, lantaran mereka umumnya tak mampu mengontrol dan menuntut "hubungan" sehat. Misalnya lelaki (suami) memakai kondom. Karena itulah sekitar 5 % wanita yang memeriksakan diri ke klinik disinyalir terjangkit penyakit menular seperti HIV/AIDS. Dan HIV/AIDS sepertinya lebih akrab dengan wanita. Wanita memang menyandang sejumlah keindahan. Tapi di balik keindahan tersebut, tersimpan "nasib" yang masih kurang menguntungkan bagi wanita Indosesia. Pernahkah hal ini terpikirkan oleh kita semua?. Rudyanto Arief.
Efek Merkuri Terhadap Kesehatan
Merkuri adalah elemen alami yang dapat ditemukan di berbagai lingkungan. Kegiatan manusia seperti membakar batu bara dan menggunakan merkuri untuk manufaktur suatu produk telah meningkatkan jumlah merkuri yang bersirkulasi di dalam atmosfir, tanah, danau, sungai, dan laut. Merkuri yang terdapat pada lokasi-lokasi tersebut meningkatkan risiko terhadap manusia dan kehidupan liar. Menurut national Emission Inventory dari EPA tahun 1999, sumber tenaga listrik yang berasal dari batu bara merupakan sumber terbesar dari emisi merkuri di udara yang disebabkan oleh manusia di amerika Serikat. Sumber tenaga di Amerika Serikat merupakan 40% emisi merkuri buatan manusia. Sumber-sumber besar lainnya adalah peralatan industri (10% emisi merkuri Amerika Srikat), sampah berbahaya yang dibakar (sekitar 5%), dan produksi klorin (sekitar 5%). Sampahkota dan sampah medis yang dibakar dulu juga pernah menjadi salah satu sumber besar emisi, namun kini sumber-sumber tersebut tidak lagi bermakna setelah mengurangi penggunaan merkuri sebagai tanggapan terhadap peraturan dari EPA dan pemerintah pusat Amerika Serikat. Bagaimana Manusia dan Kehidupan Liar Terpapar oleh Merkuri? Merkuri yang terdapat dalam udara jatuh ke tanah di dekat sumbernya maupun berkilo-kilo meter jauhnya dari sumber tersebut. Bila merkuritertimbun dalam air, mikroorganisme akan mengubahnya menjadi metilmerkuri, suatu bentuk merkuri yang memiliki toksisitas tinggi. Organisme kecil memakan zat ini dan membawanya ke darat. Bila hewan pemangsanya memakan organisme kecil ini, mereka juga membawa metilmerkuri dalam tubuh mereka. Proses yang dikenal sebagai bioakumulasi ini terus berlanjut dengan kadar merkuri yang semakin meningkat. Ikan yang mempunyai posisi lebih tinggi dalam rantai makanan, seperti hiu atau ikan todak, mengandung konsentrasi merkuri yang lebih tinggi daripada ikan yang berada lebih rendah dalam posisi rantai makanan . Manusia terpapar merkuri bila mereka memakan ikan yang terkontaminasi olehnya. Bagaimana Merkuri Mempengaruhi Kesehatan? Metilmerkuri memiliki toksisitas yang sangat tinggi. Fetus yang sedang berkembang paling sensitif terhadap efek-efek merkuri, demikian juga wanita dalam usia reproduktif merupakan populasi yang paling dikhawatirkan. Anak-anak dari wanita yang terpapar metilmerkuri dalam kadar yang relatif tinggi selama masa kehamilan menunjukkan berbagai macam kelainan, termasuk keterlambatan dalam berjalan dan berbicara, nilai uji neurologi yang menurun, dan keterlambatan dan kesulitan dalam kemampuan belajar. Delapan persen wanita dalan usia reproduktif memiliki kadar merkuri darah yang melampaui kadar yang dianggap aman oleh EPA. Sebagai tambahan, bukti-bukti yang ditemukan semakin banyak bahwa paparan metilmerkuri menyebabkan efek kardiovaskular yang buruk terhadap orang dewasa, yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan serangan jantung. Source : Medical News Today
APLIKASI PET (POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY) DALAM BIDANG KARDIOLOGI
Dr. Manoefris Kasim. DSJP; RS. Jantung Harapan Kita, Jakarta. Tomografi errusl positron adalah suatu teknik pencitraan yang fisiologis, dimana 'tracer' yang diberi tanda emisi positron, untuk menilai perfusi jaringan clanmetabolisme substrat (1). Jenis radionuklid yang digunakan terdiri dari 1. Produksi generator: Rubidium-82 2. Produksi cyclotron: . Nitrogen-13 amonia, Fluoro-18 deoxyglucose(FDG), . Oxygen-15 Air Carbon-ll palmitate. Kamera Positron Kamera positron adalah perangkat yang digunakan untuk pencitraan tomografi emisi positron (PET). Proses pembentukan citra PET adalah melalui tiga langkah pokok, yaitu : 1. Pendeteksian dua raton gamma yang dipancarkan oleh proses anihilasi positron-elektron 2. IdentifIkasiarah lintasan radiasi 3. Rekonstruksi dari distribusi radiasi raton menjadi citra geometrik objek yang akurat. Positron yang dipancarkan oleh radioisotop tertentu setelah disuntikkan intravena kedalam tubuh pasien, akan berinteraksi dengan elektron lokal dalam suatu proses anihilasi. Pada proses anihilasi tersebut elektron clan positron lenyap dan dihasilkan pancaran dua raton gamma berenergi 511 Kev dengan arah yang berlawanan (180drajat). Foton gamma tersebut dapat terdeteksi dalam suatu bidang di sekeliling pasien. Mengingat kedua raton dipancarkan dalam waktu yang bersamaan, clan bergerak dalam arah yang berlawanan maka letak sumber dapat ditentukan dengan tepat, yakni dengan memasang detektor secara berpasangan yang saling berhadapan. Sepasang detektor itu akan mencatat sebuah sinyal hanya hila keduanya menerima raton gamma secara koinsiden. dalam klinik kamera PET dibuat sedemikian rupa dimana detektordetektomya melingkar atau hexagonal (2). Aplikasi Klinik PET 1. Diagnosis P.J.K. (Penyakit Jantung Koroner) 2. Penilai berat ringannya stenosis koroner 3. Iskemia, infark miokard, dan viabilitas miokrad 4. Evaluasi pre/post intervensi (PTCA, CABG, TMR, Trombolitik) 5. Dilated cardiomyopathy 6. Prognosis PJ.K.
Universal Coverage One Head at a Time — The Risks and Benefits of Individual Health Insurance Mandates
The health insurance reform enacted in Massachusetts in 2006 and the proposals of the leading Democratic presidential candidates seek to achieve universal health insurance coverage while relying primarily on private insurance. Achieving universality is a challenge in any system that assigns insurance coverage, whether private or public, to identifiable individuals. The difficulties of finding, enrolling, and accounting for all eligible participants escalate when most of the financing for coverage is expected to come from premiums paid directly to multiple insurers rather than from funds collected centrally by the government through taxation. To address this problem, some reform models incorporate an individual mandate, a legal requirement that every person obtain insurance coverage. The Massachusetts health plan mandates coverage for both adults and children, as Senator Hillary Clinton's proposed plan would do nationally; Senator Barack Obama's plan would require parents to obtain coverage for their children. Universal coverage that relies on private health plans is hardly unprecedented; several other countries, including Germany, whose health system dates back to 1883, as well as Israel, the Netherlands, and Switzerland, use this model. Neither is the individual mandate unique to the United States. The Dutch and Swiss systems, which, like the U.S. models, rely relatively heavily on premium payments rather than payroll taxes, incorporate such mandates. The individual mandate in the U.S. plans, however, has become a flash point for controversy. The idea of an individual mandate as a means of achieving universal coverage dates back to the 1993 Clinton health plan. At that time, conservative proponents of expanded coverage argued that the availability of free or subsidized care for the uninsured would generate what they called free riders — people who were aware that inexpensive care would be available in the case of an emergency or a health catastrophe and who would therefore choose to forego the purchase of private insurance.1 Though such conservatives rejected a substantial role for government in providing health insurance, they asserted that the free-rider problem legitimated a requirement that everyone hold basic insurance coverage. The free-rider problem remains a central element in the argument for an individual mandate. Research verifies the existence of such a problem but suggests that its magnitude is quite small.2 Funds diverted from uncompensated care would not be sufficient to pay for the subsidies needed to cover most uninsured people. Eliminating the free-rider problem through universal insurance might make the health care system more fair, but it wouldn't make it less costly. Achieving universal coverage is more important as a means of improving the functioning of the insurance market. A fundamental problem in health insurance is that people know much more about their own health than insurers do. Prospective purchasers can — and do — use this information when making decisions to obtain or retain coverage. Insurers respond to this behavior by aggressively seeking out healthier purchasers and discouraging the enrollment of those who seem likely to require costly medical care. This inevitable response drives up the costs of marketing and underwriting coverage, which are substantial components of the very high administrative costs of insurance purchased in the nongroup market. Compelling everyone — whether healthy or sick — to participate in the insurance market may diminish the use of these wasteful insurer tactics. Mandated participation may also make it easier for insurance regulators to limit the extent to which sicker people pay higher premiums by reducing the risk that healthy people will be driven out of the market. Proponents of an individual mandate hope that such a policy would help to reduce the administrative costs of health insurance in the United States to the considerably lower levels found in other private-insurance–based universal systems. Although the desire to curtail free riding and strategic behavior by insurers provides the philosophical underpinnings of the individual mandate, policymakers' interest in the mandate option owes as much to its fiscal implications. Universal coverage achieved through an individual mandate could cost much less than achieving the same result by giving people subsidies for buying coverage voluntarily. The individual mandate responds to two lessons learned from previous efforts to expand coverage. First, although most uninsured people would like to have health insurance, the protection it offers against a potential adverse event is not an urgent priority for all of them. Many in this group are healthy. Most have relatively low incomes (see graph) and many other demands on their pocketbooks. A decade and a half of incremental expansion efforts have demonstrated that inducing all uninsured people to take up coverage will require very substantial subsidies — subsidies that might well exceed the cost of the coverage itself. Sherry A. Glied, Ph.D.
POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY (PET) DI BIDANG PSIKIATRI
dr. Sasanto Wibisono. DSJP; Kepala Bagian Psikiatri, FKUI, Jakarta. Psikiatri merupakan cabang spesialistik ilmu kedokteran yang menjembatani aspek-aspek bio-medik disatu pihak dan psiko-sosial di ujung yang lain. Kedua hal tersebut tidak diartikan sebagai dikotomi yang memisahkan aspek fisik dari aspek psikis, karena kenyataan bahwa kondisi penderitaan sakit selalu merupakan kesatuan berkeseninambungan. Kedua ekstrim tersebut juga merefleksikan berbagai ikhtiar pemahaman psikopatologi/patogenesis di bidang psikiatri. Di satu pihak melakukan pendalaman psikodinamik clan kehidupan sosial lingkungan dan di lain pihak mendalami aspek biologi dari psikopatologi. Posisi penjembatani seringkali menempatkan psikiatri dalan1 kedudukan yang serba sulit dalam hubungan dengan berbagai disiplin ilmu lain, karena banyaknya tumpang tindih. Perkembangan psikiatri biologi di bidang neuroscience di LN mendapat dukunganlprioritas besar dan telah demikian maju, sehingga banyak hal-hal mengenai patogenesis gangguan jiwa dapat lebih dipahami. Meskipun demikian masih banyak aspek gangguan jiwa yang secara fungsional jelas menunjukkan gangguan, tetapi secara struktural tidak/belum dapat ditemukan kelainannya. Dengan dikembangkannya peralatan seperti SPECT clan PET, yang mampu mendeteksi kelainan melalui pemetaan fungsional, maka hal tersebut nampaknya mulai dapat diungkap secara bertahap. Sayang bahwa perkembangan tersebut masih merupakan hal yang sangat mahal dan di Indonesia masih kurang mendapat prioritas dalam kaitan dengan bidang psikiatri.
Selasa, 22 April 2008
Pemakaian Alat Kontrasepsi Masih Belum Membudaya pada Pria
Penggunaan alat kontrasepsi bagi kalangan pria tampaknya masih belum bisa dikatakan membudaya. Ini terbukti denga penelitian terakhir di daerah Palembang yang menyatakan bahwa hanya 2,9 persen laki-laki di sana menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom. “Sebagian besar peserta KB di Palembang masih didominasi oleh wanita. Ini menjadi bukti masih sangat sedikit pria yang mau menggunakan alat kontrasepsi,” ucap Ketua Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (KBPK) BKKBN, Drs. KH. Kamaludin sebagaimana dikutip Antara saat seminar KB di Palembang, Rabu (16/3) lalu. “Oleh karena itu ke depan perlu ditingkatkan sosialisasi penggunaannya agar program KB makin berhasil”. Menurutnya, belum membudayanya penggunaan alat kontrasepsi ini banyak faktor yang melingkupinya. Salah satunya karena masih kurang tersedianya jenis alat kontrasepsi untuk jenis kelamin pria. Selain itu menurutnya hal ini terjadi lantaran karena masih adanya persepsi di kalangan ini bahwa masalah KB adalah urusan wanita.Namun secara garis besar Kamaludin mengatakan, secara kualitas sudah ada perbaikan kesadaran di kalangan pria tentang pentingnya keluarganya mengikuti program KB. “Dulu orang akan marah jika istrinya ikut program KB, tetapi sekarang hal tersebut sangat jarang terjadi dan ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran tentang pentingnya program KB di kalangan pria,” tambahnya.
Kesehatan Reproduksi Sementara itu pembicara lainnya, Tuti dari Dinas Kesehatan Palembang mengatakan, 65 persen wanita hamil dalam kondisi yang terlalu muda. Berumur di bawah 20 tahun, terlalu tua atau di atas 35 tahun, terlalu sering atau jaraknya di bawah dua tahun serta terlalu banyak atau lebih dari tiga anak.Dikatakannya, untuk mengatasi masalah tersebut perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan reproduksi esensial dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, program KB, kesehatan reproduksi remaja serta pencegahan/penanggulangan PMS atau HIV/AIDS.Hingga kini diketahui bahwa kesehatan reproduksi di kalangan remaja memang masih sangat mengkhawatirkan. Bahkan menurut Institut Allan Guttmacher, sebuah LSM yang khusus melakukan riset-riset di bidang ini menyatakan bahwa penyebab masih rendahnya tingkat kesehatan reproduksi wanita dunia disebabkan berbagai hal. Salah satunya karena sebagian besar perempuan muda dunia mulai aktif secara seksual pada umur belasan tahun. Proporsi kasarnya di negara-negara Amerika Latin dan Karibia, sekitar setengah sampai dua pertiga wanita melakukan hal tersebut. Sedangkan di negara-negara maju mencapai tiga perempat atau bahkan lebih. Di negara-negara Afrika lebih dari sembilan berbanding sepuluh. Kemudian adanya paradigma lama di sebagian masyarakat, bahwa perempuan harus melakukan hubungan seks pada masa remaja. Karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia muda. Sedangkan pada masyarakat lainnya, pernikahan biasanya dilangsungkan pada usia sedikit tua, tetapi seks pranikah dianggap biasa. Ini bisa dikatakan menjadi masa transisi dari norma tradisional ke modern. Namun terlepas dari berbagai norma tersebut, memang pada kenyataannya angka perempuan muda yang melakukan hubungan seksual pada waktu remaja memang tidak beranjak jauh pelakunya. Padahal hubungan seksual yang dimulai pada usia muda mengandung risiko-risiko yang tidak bisa dianggap remeh. Seperti contohnya, para perempuan yang menikah pada usia muda, sering tidak bisa banyak mendapat hak bicara dalam keluarga. Begitu pula dalam pengambilan keputusan mengenai kapan bisa melahirkan atau tidak. Perempuan, baik yang menikah maupun tidak, sangat rentan terhadap penyakit menular seksual. Serta perempuan yang sering melahirkan mengandung risiko melemah kesehatannya.
Kesehatan Reproduksi Sementara itu pembicara lainnya, Tuti dari Dinas Kesehatan Palembang mengatakan, 65 persen wanita hamil dalam kondisi yang terlalu muda. Berumur di bawah 20 tahun, terlalu tua atau di atas 35 tahun, terlalu sering atau jaraknya di bawah dua tahun serta terlalu banyak atau lebih dari tiga anak.Dikatakannya, untuk mengatasi masalah tersebut perlu ditingkatkan pelayanan kesehatan reproduksi esensial dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, program KB, kesehatan reproduksi remaja serta pencegahan/penanggulangan PMS atau HIV/AIDS.Hingga kini diketahui bahwa kesehatan reproduksi di kalangan remaja memang masih sangat mengkhawatirkan. Bahkan menurut Institut Allan Guttmacher, sebuah LSM yang khusus melakukan riset-riset di bidang ini menyatakan bahwa penyebab masih rendahnya tingkat kesehatan reproduksi wanita dunia disebabkan berbagai hal. Salah satunya karena sebagian besar perempuan muda dunia mulai aktif secara seksual pada umur belasan tahun. Proporsi kasarnya di negara-negara Amerika Latin dan Karibia, sekitar setengah sampai dua pertiga wanita melakukan hal tersebut. Sedangkan di negara-negara maju mencapai tiga perempat atau bahkan lebih. Di negara-negara Afrika lebih dari sembilan berbanding sepuluh. Kemudian adanya paradigma lama di sebagian masyarakat, bahwa perempuan harus melakukan hubungan seks pada masa remaja. Karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia muda. Sedangkan pada masyarakat lainnya, pernikahan biasanya dilangsungkan pada usia sedikit tua, tetapi seks pranikah dianggap biasa. Ini bisa dikatakan menjadi masa transisi dari norma tradisional ke modern. Namun terlepas dari berbagai norma tersebut, memang pada kenyataannya angka perempuan muda yang melakukan hubungan seksual pada waktu remaja memang tidak beranjak jauh pelakunya. Padahal hubungan seksual yang dimulai pada usia muda mengandung risiko-risiko yang tidak bisa dianggap remeh. Seperti contohnya, para perempuan yang menikah pada usia muda, sering tidak bisa banyak mendapat hak bicara dalam keluarga. Begitu pula dalam pengambilan keputusan mengenai kapan bisa melahirkan atau tidak. Perempuan, baik yang menikah maupun tidak, sangat rentan terhadap penyakit menular seksual. Serta perempuan yang sering melahirkan mengandung risiko melemah kesehatannya.
Perempuan Berperan Ganda
Kaum perempuan yang berperan ganda di rumah maupun sebagai pekerja perempuan (berkarir) yang menjadi sangat sibuk nyaris tak memiliki waktu untuk mengurus dirinya sendiri.Konsultan Keluarga Lampung Family Center Husna Hidayati yang juga Ketua Bidang Wanita IKADI Lampung seperti dilansir Antara, menjelaskan perempuan yang menjalankan tugas rangkap seperti itu sebenarnya tetap memiliki hak untuk mengurus dirinya, setidaknya untuk sejenak mengistirahatkan tubuhnya dari mengurus suami dan anak-anaknya.Perempuan yang bekerja itu, ibaratnya bertugas rangkap sebagai manajer, ibu rumah tangga, sekaligus seperti pembantu di rumah yang mengerjakan semuanya, ujarnya.Kaum perempuan seperti itu sepantasnya mendapatkan penghargaan untuk dapat mengistirahatkan dirinya di tengah kesibukan rutin setiap harinya.Dari tangan kaum ibu itulah akan lahir generasi mendatang yang baik, sehingga seorang ibu mesti dapat mengurus dirinya sehingga setiap pagi telah siap untuk menjalankan tugas sehari-hari dengan semangat baru, kata dia pula.Dia mengingatkan, ibu di rumah yang selalu dipenuhi kepenatan dan mengurus keluarga dalam kondisi yang buruk akan membawa dampak buruk bagi keluarganya.Husna menyebutkan contoh adanya peristiwa memilukan obu yang putus asa kemudian bunuh diri bersama anak-anaknya. Kondisi tersebut terjadi akibat ibu tersebut tidak lagi mampu mengatasi beban hidupnya yang semakin berat, katanya.Ia menganjurkan kepada para suami untuk memberikan waktu setiap hari bagi isterinya untuk memanjakan dirinya atau menghilangkan kepenatan, agar bisa kembali segar menyongsong hari-hari yang penuh kesibukan selanjutnya tanpa merasa terbebani.Saya juga ingatkan kepada para ibu untuk dapat menyisihkan waktu sejenak untuk diri sendiri setiap hari, untuk mengistirahatkan diri dan memulihkan kondisi kesegaran jasmani maupun rohaninya, tegasnya.Tanpa bermaksud berpromosi, dia mengajurkan kaum ibu untuk di saat penat dalam kesibukan sehari-hari di rumah maupun di tempat kerja, tidak mengonsumsi minuman es tapi meminum segelas teh untuk menyegarkan diri kembali.
Effect of Variation in CHI3L1 on Serum YKL-40 Level, Risk of Asthma, and Lung Function
Background The chitinase-like protein YKL-40 is involved in inflammation and tissue remodeling. We recently showed that serum YKL-40 levels were elevated in patients with asthma and were correlated with severity, thickening of the subepithelial basement membrane, and pulmonary function. We hypothesized that single-nucleotide polymorphisms (SNPs) that affect YKL-40 levels also influence asthma status and lung function. Methods We carried out a genomewide association study of serum YKL-40 levels in a founder population of European descent, the Hutterites, and then tested for an association between an implicated SNP and asthma and lung function. One associated variant was genotyped in a birth cohort at high risk for asthma, in which YKL-40 levels were measured from birth through 5 years of age, and in two populations of unrelated case patients of European descent with asthma and controls. Results A promoter SNP (–131C->G) in CHI3L1, the chitinase 3–like 1 gene encoding YKL-40, was associated with elevated serum YKL-40 levels (P=1.1x10–13), asthma (P=0.047), bronchial hyperresponsiveness (P=0.002), and measures of pulmonary function (P=0.046 to 0.002) in the Hutterites. The same SNP could be used to predict the presence of asthma in the two case–control populations (combined P=1.2x10–5) and serum YKL-40 levels at birth (in cord-blood specimens) through 5 years of age in the birth cohort (P=8.9x10–3 to 2.5x10–4). Conclusions CHI3L1 is a susceptibility gene for asthma, bronchial hyperresponsiveness, and reduced lung function, and elevated circulating YKL-40 levels are a biomarker for asthma and decline in lung function. Carole Ober, Ph.D., Zheng Tan, Ph.D., Ying Sun, M.S., Jennifer D. Possick, M.D., Lin Pan, M.S., Raluca Nicolae, D.D.S., Sadie Radford, Rodney R. Parry, M.D., Andrea Heinzmann, M.D., Klaus A. Deichmann, M.D., Lucille A. Lester, M.D., James E. Gern, M.D., Robert F. Lemanske, Jr., M.D., Dan L. Nicolae, Ph.D., Jack A. Elias, M.D., and Geoffrey L. Chupp, M.D.
Tes Pendengaran
Bukan pada manula saja tajam pendengaran dapat menurun , kamu juga dapat tekena gejala penurunan tajam pendengaran..! Nah hati-hati kalau begitu. Gejala penurunan tajam pendengaran pada usia muda antara lain dapat terjadi pada kamu yang sehari-hari bekerja pada lingkungan yang bising , seperti di pabrik , kawasan bandara, atau karena mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Bila pada akhir-akhir ini kamu merasa ada yang kurang beres dengan pendengaran kamu jangan ragu untuk segera memeriksakan tajam pendengaran anda ke dokter Berikut ini adalah beberapa pertanyaan seputar pendengaran kamu 1. Apakah kamu suka meminta lawan bicara kamu untuk mengulang-ulang kata katanya ? 2 Kamu sering kurang dapat memahami pembicaraannya walaupun kamu dapat mendengarkannya. ? 3. Kamu merasa akhir-akhir ini pendengaran kamu tidak sebagus biasanya. 4. Kamu kesulitan mendengar dalam lingkungan agak bising. 5. Kamu kesulitan dalam mengikuti percakan kelompok. 6. Teman-teman bilang kamu kalau menyetel radio ,walkman, TV terlalu keras. 7. Teman-teman bilang kamu kalau bicara selalu keras. 8. Kamu mulai sulit memahami perkataan anak-anak 9. Kamu mulai kesulitan mendengar didalam gedung bioskop atau tempat yang luas. 10. Kamu mulai suka memastikan ucapan orang melalui teman pembicaraankamu Jika kamu merasa ada beberapa nomor yang pas dengan keadaan kamu , nah hati- hatilah. Bila ada lebih dari tiga (3) yang sesuai dengan keadaan kamu , sebaiknya kamu cepat memeriksakannya kedokter pribadi kamu. Jangan ditunda-tunda , sebab gejala ini dapat terus berkembang lebih buruk lagi dan sudah tentu akan lebih sulit pengobatannya. Untuk mengetahui secara obyektif dokter kamu akan melakukan tes pendengaran atau tes Audiometri.
Shared Genetic Causes of Cardiac Hypertrophy in Children and Adults
Background The childhood onset of idiopathic cardiac hypertrophy that occurs without a family history of cardiomyopathy can portend a poor prognosis. Despite morphologic similarities to genetic cardiomyopathies of adulthood, the contribution of genetics to childhood-onset hypertrophy is unknown. Methods We assessed the family and medical histories of 84 children (63 boys and 21 girls) with idiopathic cardiac hypertrophy diagnosed before 15 years of age (mean [±SD] age, 6.99±6.12 years). We sequenced eight genes: MYH7, MYBPC3, TNNT2, TNNI3, TPM1, MYL3, MYL2, and ACTC. These genes encode sarcomere proteins that, when mutated, cause adult-onset cardiomyopathies. We also sequenced PRKAG2 and LAMP2, which encode metabolic proteins; mutations in these genes can cause early-onset ventricular hypertrophy. Results We identified mutations in 25 of 51 affected children without family histories of cardiomyopathy and in 21 of 33 affected children with familial cardiomyopathy. Among 11 of the 25 children with presumed sporadic disease, 4 carried new mutations and 7 inherited the mutations. Mutations occurred predominantly (in >75% of the children) in MYH7 and MYBPC3; significantly more MYBPC3 missense mutations were detected than occur in adult-onset cardiomyopathy (P<0.005). p="0.007)">
Senin, 21 April 2008
Olahraga Turunkan Risiko Penyakit Jantung
Remaja yang gemuk akan berisiko untuk mengalami gangguan pada pembuluh darahnya pada usia yang dini, yang dapat mengakibatkan penyakit jantung. Dengan berolahraga, risiko itu akan hilang, walaupun bila mereka tidak mengalami penurunan berat badan. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Western Australia, melakukan test pada fungsi pembuluh darah pada 19 remaja gemuk dan 20 remaja kurus, sebelum dan sesudah mereka melakukan olahraga. Remaja itu seluruhnya sehat, tidak merokok dan mempunyai kolesterol dan tekanan darah yang normal. Selama 8 minggu, tiap peserta mengikuti aerobik dan olahraga beban. Pada awal penelitian, remaja gemuk, menunjukkan perbaikan fungsi endotel pembuluh darah. (Endotel adalah lapisan dalam pembuluh darah yang dilalui aliran darah). Sedangkan fungsi pembuluh darah baru meningkat secara bermakna pada akhir program olahraga. Olahraga, ternyata bermanfaat langsung pada kesehatan pembuluh darah,? secara tidak langsung juga menurunkan kadar lemak darah, gula darah dan tekanan darah.? Walaupun tidak sampai terjadi penurunan berat badan, tapi akan memperbesar otot, berkurangnya lemak perut yang berisiko terjadinya penyakit jantung.
The Application of Duplex Surveillance After Carotid Intervention
Carotid duplex ultrasound testing provides a safe and accurate method to detect and grade the severity of atherosclerotic internal carotid artery stenosis both before and following carotid intervention. Testing after surgical endarterectomy or stent angioplasty allows assessment of the technical success by excluding residual stenosis. The focus of duplex surveillance after carotid intervention is to identify recurrent stenosis, repair site occlusion, and progression of contralateral internal carotid artery disease. Patients who develop a neurologic event or a duplex-detected >75% diameter-reducing internal carotid artery stenosis with a peak systolic velocity >300 cm/s and end-diastolic velocity >125 cm/s should be further evaluated by angiographic imaging and should be considered for reintervention if an appropriate lesion is confirmed. Duplex surveillance allows the vascular surgeon to evaluate patency of the rendered intervention, its stenosis-free durability, and its effectiveness in stroke prevention. Key Words: duplex ultrasound • carotid stenting • carotid endarterectomy • surveillance. Joe P. Chauvapun, MD, Paul A. Armstrong, DO, Brad L. Johnson, MD
Bahaya Laten Sepotong Sosis
Sosis merupakan makanan asing yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena rasanya enak. Namun, di balik kenikmatan makanan yang kaya akan zat gizi ini, terkandung lemak dan kolesterol tinggi yang bisa mengganggu kesehatan. Untuk itu, hati-hati mengonsumsi sosis. Makanan ini dibuat dari daging atau ikan yang telah dicincang kemudian dihaluskan, diberi bumbu, dimasukkan ke dalam selonsong berbentuk bulat panjang simetris, baik yang terbuat dari usus hewan maupun pembungkus buatan (casing). Sosis juga dikenal berdasarkan nama kota atau daerah yang memproduksi, seperti berliner (Berlin), braunscheiger (Braunshweig), genoa salami (Genoa), dan lain-lain. Sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang sangat digemari masyarakat Indonesia sejak tahun 1980-an. Istilah sosis berasal dari bahasa Latin, yaitu salsus, yang artinya garam. Hal ini merujuk pada artian potongan atau hancuran daging yang diawetkan dengan penggaraman. Nilai Gizi Sosis merupakan produk polahan daging yang mempunyai nilai gizi tinggi. Komposisi gizi sosis berbeda-beda, tergantung pada jenis daging yang digunakan dan proses pengolahannya. Produk olahan sosis kaya energi, dan dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat. Selain itu, sosis juga memiliki kandungan kolesterol dan sodium yang cukup tinggi, sehingga berpotensi menimbulkan penyakit jantung, stroke, dan hipertensi jika dikonsumsi berlebihan. Ketentuan mutu sosis berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995) adalah: kadar air maksimal 67 persen, abu maksimal 3 persen, protein minimal 13 persen, lemak maksimal 25 persen, serta karbohidrat maksimal 8 persen. Kenyataannya, banyak sosis di pasaran yang memiliki komposisi gizi jauh di bawah standar yang telah ditetapkan. Hal tersebut menunjukkan pemakaian jumlah daging kurang atau penggunaan bahan tidak sesuai komposisi standar sosis. BACA LABEL SEBELUM MENYANTAP Seiring dengan berkembangnya industri pangan, saat ini telah dikembangkan sebuah inovasi baru, yaitu sosis siap makan tanpa perlu dimasak atau dipanaskan terlebih dahulu. Dengan demikian, sosis tersebut dapat dimakan sebagai snack. Saat ini juga mulai banyak dijual sosis steril, yaitu sosis yang dibuat melalui proses sterilisasi sehingga awet untuk disimpan pada suhu kamar, selama beberapa waktu. Sosis tersebut tinggal dibuka dari kemasannya dan langsung dapat dimakan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kandungan lemak sosis yang cukup tinggi. Konsumsi sosis sebagai snack hendaknya memperhatikan faktor-faktor kesehatan seperti obesitas dan kolesterol. Sosis dengan kadar lemak rendah dapat menjadi pilihan. Karena itu, sebaiknya membiasakan diri membaca label secara seksama sebelum memutuskan untuk membeli dan mengonsumsi sosis
The Challenge of HIV-1 Subtype Diversity
Neary 27 years after the first reported cases of the acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) and 25 years after the discovery of the etiologic agent, effective control of the AIDS pandemic remains elusive. At the root of this challenge is the molecular pathogenesis of human immunodeficiency virus (HIV) type 1 (HIV-1), a virus that has evolved a number of mechanisms to elude immune control. Among the most prominent of these are the heavy glycosylation of the external glycoprotein, which protects neutralization epitopes; the virus' direct targeting of the CD4 molecule expressed by the key T lymphocyte in immune orchestration; integration into the host-cell genome, which implies that cells that are not killed are infected permanently; and the potential of the virus to mutate and therefore evade the host immune system (mutational escape).1,2 This last mechanism results in a remarkable degree of viral diversity within HIV-1 and its rapid adaptation, in response to both immune activity and antiretroviral therapy. Over the past decade, advances in sequencing technology and expanded disease surveillance have allowed researchers to characterize the variation in HIV-1 within individual patients and around the world. Origin of HIV and Mechanisms of HIV Diversity The origin of HIV-1 among nonhuman primates has been traced to a simian virus, SIVcpz, which infected several geographically isolated chimpanzee communities in southern Cameroon. This HIV-1 progenitor probably was passed from chimpanzees to human hunters through bloodborne transmission. Phylogenetic analysis of HIV-1 and related viruses from nonhuman primates suggests that three independent transmission events early in the 20th century spawned three HIV-1 groups: major (M, between 1915 and 1941), outlier (O), and nonmajor and nonoutlier (N).3,4 Although strains related to the M and N groups have been found in chimpanzees, recent evidence suggests that group O HIV-1 may have originated in gorillas, in which the closest relatives of this group have been identified.5 It is speculated that the virus then spread among humans along the Congo River into Kinshasa, Zaire, where the earliest documented case of HIV-1 infection (with group M strain) in humans has been traced to a blood sample from 1959.6 HIV has several intrinsic mechanisms that ensure rapid viral evolution. The reverse transcriptase of HIV lacks proofreading activity, the ability to confirm that the DNA transcript it makes is an accurate copy of the RNA code, and confers a mutation rate of approximately 3.4x10–5 mutations per base pair per replication cycle. Since the HIV genome is an estimated 104 base pairs in length and the baseline rate of viral production is approximately 1010 virions per day, millions of viral variants are produced within any infected person in a single day.7 HIV-1 recombination can lead to further viral diversity and occurs when one person is coinfected with two separate strains of the virus that are multiplying in the same cell (Figure 1).8,9 The initial view that the virus is classifiable into distinct subtypes or clades now needs to reflect the reality of a dynamic genetic evolutionary process, through which new HIV-1 strains are constantly emerging. The resultant viral diversity has implications for possible differential rates of disease progression, responses to antiretroviral therapy (including the development of resistance), and vaccine development.
Minggu, 20 April 2008
Efek Bahaya Asap Rokok Bagi Kesehatan Tubuh Manusia
Akibat Sebatang Rokok Racun, Ketagihan, Candu, Buang Uang Dan Dosa Rokok adalah benda beracun yang memberi efek santai dan sugesti merasa lebih jantan. Di balik kegunaan atau manfaat rokok yang secuil itu terkandung bahaya yang sangat besar bagi orang yang merokok maupun orang di sekitar perokok yang bukan perokok. 1. Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan kimia yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh. Beberapa zat yang sangat berbahaya yaitu tar, nikotin, karbon monoksida, dsb. 2. Asap rokok yang baru mati di asbak mengandung tiga kali lipat bahan pemicu kanker di udara dan 50 kali mengandung bahan pengeiritasi mata dan pernapasan. Semakin pendek rokok semakin tinggi kadar racun yang siap melayang ke udara. Suatu tempat yang dipenuhi polusi asap rokok adalah tempat yang lebih berbahaya daripada polusi di jalanan raya yang macet. 3. Seseorang yang mencoba merokok biasanya akan ketagihan karena rokok bersifat candu yang sulit dilepaskan dalam kondisi apapun. Seorang perokok berat akan memilih merokok daripada makan jika uang yang dimilikinya terbatas. 4. Harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang yang tergolong miskin, sehingga dana kesejahteraan dan kesehatan keluarganya sering dialihkan untuk membeli rokok. Rokok dengan merk terkenal biasanya dimiliki oleh perusahaan rokok asing yang berasal dari luar negeri, sehingga uang yang dibelanjakan perokok sebagaian akan lari ke luar negeri yang mengurangi devisa negara. Pabrik rokok yang mempekerjakan banyak buruh tidak akan mampu meningkatkan taraf hidup pegawainya, sehingga apabila pabrik rokok ditutup para buruh dapat dipekerjakan di tempat usaha lain yang lebih kreatif dan mendatangkan devisa. 5. Sebagian perokok biasanya akan mengajak orang lain yang belum merokok untuk merokok agar merasakan penderitaan yang sama dengannya, yaitu terjebak dalam ketagihan asap rokok yang jahat. Sebagian perokok juga ada yang secara sengaja merokok di tempat umum agar asap rokok yang dihembuskan dapat terhirup orang lain, sehingga orang lain akan terkena penyakit kanker. 6. Kegiatan yang merusak tubuh adalah perbuatan dosa, sehingga rokok dapat dikategorikan sebagai benda atau barang haram yang harus dihindari dan dijauhi sejauh mungkin. Ulama atau ahli agama yang merokok mungkin akan memiliki persepsi yang berbeda dalam hal ini. Kesimpulan : Jadi dapat disimpulkan bahwa merokok merupakan kegiatan bodoh yang dilakukan manusia yang mengorbankan uang, kesehatan, kehidupan sosial, pahala, persepsi positif, dan lain sebagainya. Maka bersyukurlah anda jika belum merokok, karena anda adalah orang yang smart / pandai. Ketika seseorang menawarkan rokok maka tolak dengan baik. Merasa kasihanlah pada mereka yang merokok. Jangan dengarkan mereka yang menganggap anda lebih rendah dari mereka jika tidak ikutan ngerokok. karena dalam hati dan pikiran mereka yang waras mereka ingin berhenti merokok.
Clinical decision-making based on findings.....
Presented in conference abstracts: is it safe for our patients? Research findings presented in scientific conferences have a considerable direct and indirect impact on decision-making of clinicians. Investigators in various fields of research have examined the possible differences in aims, results, and conclusions between conference abstracts and subsequent corresponding published papers. They documented that differences between data presented in conference abstracts and published papers are frequent and occasionally major. These findings strongly support the position that we should not hurry to incorporate in clinical decision-making data presented at international or national scientific conferences. Instead, we believe that we better serve our patients by waiting at least for the evaluation of potential scientific advances by rigorous peer review. Key Words: Research findings • Scientific meeting • Randomized controlled trials • Endarterectomy • Peer review. Matthew E. Falagas and Evangelos S. Rosmarakis
Apa Itu Penuaan
Manusia didalam hidupnya akan mengalami beberapa masa yang secara garis besar terbagi atas empat masa yaitu masa kecil atau kanak-kanak, lalu masa remaja, masa dewasa, dan yang terakhir masa tua. Setiap orang yang hidup didunia ini pasti akan melewati ke empat masa ini. Pada masa kanak-kanak dan remaja, hidup manusia rata-rata mengalami kesehatan yang prima. Kalaupun seorang anak mengalami sakit, maka masa penyembuhan mereka relatif sangat cepat. Akan tetapi ketika mulai menginjak ke masa dewasa dan bahkan masa tua, hidup seseorang akan mengalami masalah-masalah pada kesehatannya seperti misalnya kencing manis, darah tinggi, jantung koroner, dan masih banyak lagi penyakit-penyakit yang biasanya disebut penyakit tua. Ternyata ketika seseorang menginjak masa dewasa, mereka mengalami proses yang dikenal dengan proses penuaan. Jadi proses penuaan ini adalah proses menurunnya kinerja-kinerja yang ada di dalam tubuh manusia. Menurut hasil penelitian Dr. Daniel Rudman yang diterbitkan di New England Journal of Medicine, ternyata penuaan dikategorikan sebagai suatu penyakit, dan penyakit penuaan disebabkan karena kekurangan salah satu hormon. Hormon tersebut adalah hormon pertumbuhan manusia. Efek dari kekurangan hormon pertumbuhan manusia ini ternyata mempengaruhi ukuran dan fungsi dari organ-organ yang terdapat di dalam tubuh. Sebagai contoh adalah pada otak dan ginjal. penciutan otak sebanyak 30% pada otak seseorang yang berumur 70 tahun. Tidak heran manusia pada umur 70 akan mengalami pikun-pikun dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan otak seperti Parkinson organ ginjal pada manusia berumur 70 tahun yang mengalami penciutan dan warnanya yang menghitam. Dan akibat dari penciutan ini adalah menurunnya fungsi ginjal dan pada tingkat terendah, seseorang akan kehilangan fungsi ginjalnya yang biasa dikenal dengan nama gagal ginjal. Selain otak dan ginjal, sebetulnya seluruh organ yang ada di tubuh manusia seperti kulit, jantung, paru-paru, dan organ yang lain juga ikut menurun fungsinya. Tidak heran pada seseorang yang berumur 70 tahun, mereka akan mengalami banyak sekali persoalan di kesehatan mereka. Lalu mengapa seseorang mengalami penuaan? Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi penuaan tersebut. Dua point pertama adalah penyebab penuaan yang datangnya dari luar diri manusia yaitu cara hidup dan oxidasi. Cara hidup yang tidak sehat seperti jarang atau tidak pernah olah raga, makan makanan yang berlemak, kurang makan serat, kurang istirahat, Stress yang tinggi, dan masih banyak lagi gaya hidup yang sering dijumpai di kota-kota besar. Lalu oxidasi bentuknya seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, zat-zat pengawet, dan bahan-bahan kimia yang ada di sekeliling kita. Kedua penyebab inilah yang datang dari luar tubuh manusia. Penyebab kedua yang tidak kita sadari yaitu kekurangan hormon. ada delapan hormon utama pada manusia. Testosterone, progesterone, dan estrogen adalah hormon yang bertanggung jawab atas reproduksi manusia. Berkurangnya hormon ini akan mengakibatkan menopause pada wanita dan andropause pada pria. Lalu hormon DHEA adalah hormon yang bertanggung jawab menurunkan resiko seseorang terkena kanker. Seseorang yang kekurangan hormon ini, resiko terkena kankernya jauh lebih tinggi daripada yang kadar hormon DHEA-nya normal. Hormon insulin adalah hormon yang bertanggung jawab didalam metabolisme glukosa (gula) di dalam darah. Kekurangan hormon ini akan berakibat seseorang menderita penyakit diabetes mellitus (kencing Manis). Hormon yang lain adalah hormon thyroid. Hormone ini bertanggung jawab terhadap metabolisme di dalam tubuh. Kekurangan hormon ini akan berakibat terganggunya metabolisme di dalam tubuh. Lalu Hormon yang lain adalah hormon Melatonin. Hormon ini bertanggung jawab mengatur fungsi tidur di dalam tubuh manusia. Kekurangan hormon ini akan berakibat seseorang sulit untuk tidur, atau kualitas tidur seseorang akan rendah. Lalu hormon yang paling utama adalah hormon Pertumbuhan manusia (HGH). Hormone ini bertanggung jawab untuk mengatur pertumbuhan pada diri seseorang. Selain untuk pertumbuhan, ternyata produksi hormon ini sangat mempengaruhi produksi hormon lainnya di dalam tubuh manusia. Kekurangan hormon ini pada masa kecil akan menghambat pertumbuhan anak tersebut. Ternyata menurut hasil penelitian Dr Daniel Rudman, didapati setiap sepuluh tahun produksi HGH di dalam tubuh manusia menurun sebanyak 17%. Pada umur 20 tahun, Produksi HGH didapati sebanyak 500 mikrogram, sedangkan pada usia 80 tahun, produksi HGH didapati hanya sebesar 25 mikrogram. Tidak heran seseorang yang berumur 80 tahun akan mengalami banyak sekali sakit penyakit di dalam tubuh mereka. Lalu bagaimana agar kita dapat meningkatkan produksi HGH di dalam tubuh manusia? Ada beberapa cara yaitu dengan : Cara yang pertama adalah dengan menyuntikkan HGH sintetis ke dalam darah. Cara ini kurang dianjurkan karena selain harganya yang mahal, hormon yang disuntikkan akan mengakibatkan malasnya pabrik HGH (kelenjar Pituitari) di dalam otak manusia akan malas mengeluarkan HGH alaminya. Praktek menyuntikkan HGH sistetis ini hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ahli di bidang hormon. Selain itu apabila dosisnya berkelebihan, justru efeknya tidak baik yaitu menyebabkan serangan jantung. Cara yang lain adalah dengan cara yang alami yaitu dengan berpuasa. Seseorang yang berpuasa rutin setiap bulannya dapat meningkatkan kadar HGH di dalam darahnya. Tidak heran seseorang yang sehabis melaksanakan ibadah puasa, air mukanya terlihat lebih cerah dan bersinar. Lalu cara yang kedua adalah dengan berolah-raga. Seseorang yang berolah-raga rutin setiap harinya dapat meningkatkan kadar HGH di dalam darahnya. Tidak heran pula seorang atlit olah raga terlihat segar dan sehat pula. Lalu cara yang ketiga adalah dengan tidur nyenyak. Tidur nyenyak yang dalam ternyata dapat juga meningkatkan kadar HGH di dalam darah. Jadi jumlah jam tidur tidaklah penting, akan tetapi yang lebih penting adalah kualitas tidur itu sendiri. Lalu cara yang terakhir adalah dengan mengkonsumsi asam amino. Asam amino adalah suatu protein yang sangat penting untuk tubuh manusia. Asam amino didapati terbanyak dikandung di kacang-kacangan terutama kacang kedelai. Asam Amino Menurut Dr Ronald Klatz, ada empat asam amino yang sangat penting untuk dikonsumsi oleh tubuh manusia untuk meningkatkan kadar HGH di dalam darah. Keempat asam amino itu adalah : Dengan Mengkonsumsi 4 asam amino ini selama minimal enam bulan, maka secara fisik jam biologis kita akan mundur sejauh 10 sampai 20 tahun lebih muda. Misalnya kita sekarang berumur 50 tahun, setelah mengkonsumsi asam amino selama minimal enam bulan maka kondisi tubuh akan kembali muda seperti pada waktu kita berumur 30 atau 40 tahun, yang dimana mungkin pada umur itu, kondisi tubuh kita masih sehat bugar dan bertenaga.
Senin, 14 April 2008
Usia dan perubahan kulit wajah
Usia memberikan kontribusi besar terhadap perubahan kulit wajah. Ketika usia bertambah, biasanya wajah pun mulai berubah. Wajah tidak fresh lagi, jadi berkeriput, dan timbul noda-noda hitam atau flek. Berdasarkan riset terbaru yang dilakukan Procter & Gamble, terdapat lebih dari 6.000 perempuan diseluruh dunia yang mengalami penuaan. Dari hasil riset itu akhirnya juga diperoleh 7 tanda penyebab penuaan kulit. Yaitu garis-garis halus dan keriput, bintik-bintik hitam, kulit kering dan kasar, kulit kelam, pori-pori besar dan penurunan elasitas kulit. “Namun secara garis besar, penyebab penuaan dini ada dua. Yakni faktor intrinsik dan ekstrinsik,” ujar Dr Bambang Dwipayana SpKK, dermatolog terkemuka dalam talk show membahas penuaan dini, di Mei Uniue Dining & Lounge, Hotel Nikko, belum lama ini. Dia menjelaskan, faktor intrinsik lebih banyak dipengaruhi oleh usia dan genetik. Faktor ini secara cepat atau lambat akan dialami oleh semua orang tanpa kecuali. Karena itu tinggal bagaimana caranya setiap orang bisa memperlambat proses itu. “Faktor intrinsik ini biasanya ditentukan oleh ciri-ciri, kulit akan kehilangan kelembaban dan kekenyalan karena daya elastisitas kulit dan kemampuan kulit untuk menahan air sudah berkurang,” ungkapnya. Berbeda dengan faktor ekstrinsik. Menurutnya, faktor ini dapat ditelusuri dari adanya pengaruh lingkungan (polusi, rokok, dan kosmetik), penyakit (infeksi, stress, tumor dan metabolik) dan diet yang tidak seimbang. Kendati demikian faktor ekstrinsik ini masih bisa dikendalikan dengan segala cara dan upaya. Sebagai contoh faktor lingkungan yang terjadi dari sinar ultra violet (UV) yang bisa menyebabkan kerusakan pada kulit. Seringnya terkena sinar UV, kulit akan terlihat kemerah-merahan dan sedikit ada bercak-bercak. Karena itu Dr Bambang menyarankan agar para wanita rajin menggunakan pelembab yang mengandung minimal SPF 15 yang berfungsi untuk melindungi kulit dan mengurangi akibat buruk sinar buruk UV. Agar lebih aman lagi, tidak masalah jika setiap kali keluar ruangan diwajibkan memakai payung ataupun topi. Tujuannya untuk mencegah efek langsung dari sinar UV ke kulit wajah. Begitu juga dengan wanita yang sedang menjalankan program diet. Kata dia, wanita yang sering melakukan diet biasanya kulitnya banyak mengalami perubahan. Ini dikarenakan saat berdiet kulit mengalami peregangan instan. Di mana kulit yang tadinya melebar dipaksa harus mengerut. Kalau ini dilakukan secara berulang-ulang, tentu saja akan memberikan hasil yang tidak sempurna dan akan memberikan bekas. Karena itu Dr Bambang mengusulkan, setiap kali berdiet para wanita harus tetap memperhatikan pula kebutuhan tubuhnya masing-masing. “Makanan yang punya kandungan gizi yang tinggi bisa memberikan banyak manfaat buat tubuh. Jangan lupa lakukan juga program olahraga secara seimbang agar hasilnya benar-benar bagus.
Telmisartan, Ramipril, or Both in Patients at High Risk for Vascular Events
Background In patients who have vascular disease or high-risk diabetes without heart failure, angiotensin-converting–enzyme (ACE) inhibitors reduce mortality and morbidity from cardiovascular causes, but the role of angiotensin-receptor blockers (ARBs) in such patients is unknown. We compared the ACE inhibitor ramipril, the ARB telmisartan, and the combination of the two drugs in patients with vascular disease or high-risk diabetes. Methods After a 3-week, single-blind run-in period, patients underwent double-blind randomization, with 8576 assigned to receive 10 mg of ramipril per day, 8542 assigned to receive 80 mg of telmisartan per day, and 8502 assigned to receive both drugs (combination therapy). The primary composite outcome was death from cardiovascular causes, myocardial infarction, stroke, or hospitalization for heart failure. Results Mean blood pressure was lower in both the telmisartan group (a 0.9/0.6 mm Hg greater reduction) and the combination-therapy group (a 2.4/1.4 mm Hg greater reduction) than in the ramipril group. At a median follow-up of 56 months, the primary outcome had occurred in 1412 patients in the ramipril group (16.5%), as compared with 1423 patients in the telmisartan group (16.7%; relative risk, 1.01; 95% confidence interval [CI], 0.94 to 1.09). As compared with the ramipril group, the telmisartan group had lower rates of cough (1.1% vs. 4.2%, P<0.001) p="0.01)" p="0.03),">
Merawat kecantikan wajah
Secara umum baik wanita mau pun pria harus menjaga kulitnya dari berbagai gangguan. Tindakan yang patut dilakukan adalah berikut ini: • Cuci tangan yang bersih sebelum menyentuh wajah Anda • Lakukan cleansing kulit wajah pada pagi dan malam hari: Perlu dilakukan di malam hari – meski Anda tidak ber-makeup, karena wajah mudah dinodai oleh polusi. Perlu pula dilakukan pada pagi hari, karena kulit Anda mengeluarkan lemak dan kotoran pada malam hari • Di malam hari, luangkan waktu untuk memijat kulit untuk menstimulasi sirkulasi pertukaran sel-sel pada kulit. Pijatan lembut selama dua menit bisa menghilangkan keletihan, menyantaikan wajah dan memberi kecerahan kulit. • Lindungi kulit secara benar, apalagi bila Anda sering bepergian. • Banyaklah minum air putih. Untuk kulit kering: • Berilah kesenangan setiap saat. • Ubah jenis produk perawatan kulit sesuai musim, iklim, dan gaya hidup Anda: lingkungan ber-AC, kehidupan di alam terbuka • Mulailah menggunakan produk perawatan anti-ageing, segera setelah pertanda penuaan muncul. Hal ini kerap terjadi lebih cepat untuk jenis kulit Anda (utamanya di area sekitar mata) • Hindari mandi dengan air panas, ada baiknya memakai bath oil Untuk kulit sensitif: • Hangatkan dulu produk perawatan di genggaman tangan sebelum Anda memakainya. Lakukan perawatan kulit tanpa menggosok • Sebaiknya gunakan jari jemari daripada katun wol, kain atau tisu. • Gunakan penyemprot air, jangan membasuh melalui keran air. Untuk kulit separuh baya: • Pilihlah produk perawatan kulit anti-ageing tergantung pada kondisi kulit, kebutuhan dan musim. • Leher, mata, dan tangan Anda bisa mengurangi keindahan penampilan, jadi imbali mereka dengan perhatian yang sangat spesial. • Di setiap pagi yang menyulitkan, janganlah ragu buat menggunakan produk kecantikan yang sesuai, yang bisa melembutkan permukaan kulit. • Sering terkena sinar matahari langsung, bisa menyebabkan keriput dan noda di kulit. Untuk kulit berminyak • Lindungi dirimu dari sinar matahari langsung, dan penimbunan lemak di kulit wajah • Jangan mengeluarkan jerawat dan beruntusan di wajah secara swalayan • Lakukan perawatan peeling pada wajah sekali hingga tiga kali seminggu.
Adjunct brachytherapy: a new concept to prevent intimal hyperplasia after surgical endarterectomy?
Objective: Endarterectomy represents a therapeutical option for patients with advanced coronary artery disease. The mid-term results are compromised by restenosis due to neointima formation. The aim of this study was to evaluate a new treatment concept – endarterectomy with consecutive gamma-irradiation – in a rat model. Methods: Male Sprague–Dawley rats underwent left carotid endarterectomy with removal of intima: control (n = 10) or were irradiated with 15 Gray (Gy) (n = 13) or 20 Gy (n = 10) postoperatively and compared with sham-operated rats (n = 10). After 3 weeks, carotid arteries were perfusion-fixed and vessel compartment areas were measured. Transmission electron microscopy and immunohistochemical staining were used to confirm neointima formation. Results: Three weeks after endarterectomy, neointimal hyperplasia was found in the control group (0.07 ± 0.04 mm2). After irradiation, a dose-dependent reduction of neointima was observed (0.003 mm2 at 15 Gy and 0.0007 mm2 at 20 Gy, P)
Serangan Jantung Jarang Terjadi Pada Wanita 'Aktif'
Serangan jantung yang berujung pada kematian karena kelelahan saat melakukan kegiatan olah raga jarang terjadi pada kaum wanita, namun lebih umum terjadi pada kaum pria, seperti dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association. Para ilmuwan menemukan dari sebanyak 288 kematian karena gagal jantung mendadak yang diteliti pada sekitar 85 ribu wanita usia paruh baya yang bekerja sebagai perawat sejak 1980an (saat penelitian tersebut dimulai) hingga saat ini, hanya terjadi sembilan kasus kematian pada saat para partisipan merasa kelelahan dan hanya tiga dari kesembilan kematian tersebut terjadi saat mereka sedang melakukan kegiatan olah raga. "Risiko terjadinya serangan jantung yang menyebabkan kematian pada saat terjadinya kondisi kelelahan mulai dari kelelahan yang sedang hingga kelelahan yang amat sangat dikalangan para perawat wanita tersebut, tercatat sangat kecil jumlahnya bahkan lebih rendah dari kelompok pria," demikan hasil studi pengamatan Christine Albert dari Brigham and Women's Hospital di Boston. Kematian akibat serangan jantung yang fatal terjadi di kalangan perawat wanita yang menghabiskan waktu hanya satu per 36,5 jam untuk berolahraga, sementara pada kelompok pria dengan usia yang sama terjadi 19 kali lebih banyak mengalami kematian akibat gagal jantung saat melakukan kegiatan olah raga, angka tersebut diperoleh dari penelitian terhadap dokter pria, demikian hasil laporan penelitian terkini yang dipublikasikan dalam jurnal American Medical Association (AMM). Kematian saat melakukan kegiatan olah raga jarang terjadi baik pada wanita maupun pria, namun peneliti tak bisa menjelaskan mengapa terdapat perbedaan angka dalam hal serangan jantung saat mengalami kelelahan yang cukup besar diantara kelompok wanita dan pria. "Mereka yang seharusnya paling cemas adalah orang yang tak pernah melakukan kegiatan olah raga sama sekali, karena olah raga yang dilakukan secara teratur adalah yang cara terbaik untuk mengalahkan penyakit jantung," kata Albert menambahkan dalam laporan ilmiahnya.Hanya wanita yang melakukan kegiatan olah raga kurang dari dua jam selama sepekan yang berisiko terkena serangan jantung yang berakibat fatal saat melakukan olah fisik. Wanita yang melakukan olah raga sedikitnya empat jam dalam sepekan misalnya melakukan olah raga jalan kaki setengah jam setiap hari maka ancaman terkena serangan jantung pada mereka turun hingga 60 persen tanpa memperhitungkan faktor bobot tubuh. Sepertiga dari wanita yang dijadikan objek penelitian tidak melakukan kegiatan olah raga sama sekali, sementara hanya 15 persen diantara jumlah keseluruhan yang melakukan olah raga selama empat jam atau lebih, selama sepekan. Kelebihan berat badan yang umumnya disertai penyempitan arteri, tingkat kolesterol yang tinggi dalam darah dan faktor-faktor lainnya yang bisa menjadikan orang tersebut beresiko tinggi terkena serangan jantung, namun bagi wanita yang kurus tapi tidak fit mereka tetap memiliki risiko yang sama tingginya, demikian hasil penelitian lainnya yang mengamati 27 ribu wanita. "Hal ini berarti kaum wanita dengan variasi berat badan yang berbeda dapat memperbaiki kondisi kesehatannya dari ancaman serangan jantung yang berakibat fatal dengan cara melakukan kegiatan berolah raga. Sementara untuk wanita yang secara fisik aktif bisa menurunkan risiko terancam serangan jantung fatal dengan mencoba mencapai dan mempertahankan berat tubuh ukuran standard normal mereka," jelas Samia Mora, rekan Albert yang masih berada dalam satu penelitian yang sama.
Endarterectomy for asymptomatic carotid artery stenosis. Executive Committee for the Asymptomatic Carotid Atherosclerosis Study
OBJECTIVE--To determine whether the addition of carotid endarterectomy to aggressive medical management can reduce the incidence of cerebral infarction in patients with asymptomatic carotid artery stenosis. DESIGN--Prospective, randomized, multicenter trial. SETTING--Thirty-nine clinical sites across the United States and Canada. PATIENTS--Between December 1987 and December 1993, a total of 1662 patients with asymptomatic carotid artery stenosis of 60% or greater reduction in diameter were randomized; follow-up data are available on 1659. At baseline, recognized risk factors for stroke were similar between the two treatment groups. INTERVENTION--Daily aspirin administration and medical risk factor management for all patients; carotid endarterectomy for patients randomized to receive surgery. MAIN OUTCOME MEASURES--Initially, transient ischemic attack or cerebral infarction occurring in the distribution of the study artery and any transient ischemic attack, stroke, or death occurring in the perioperative period. In March 1993, the primary outcome measures were changed to cerebral infarction occurring in the distribution of the study artery or any stroke or death occurring in the perioperative period. RESULTS--After a median follow-up of 2.7 years, with 4657 patient-years of observation, the aggregate risk over 5 years for ipsilateral stroke and any perioperative stroke or death was estimated to be 5.1% for surgical patients and 11.0% for patients treated medically (aggregate risk reduction of 53% [95% confidence interval, 22% to 72%]). CONCLUSION--Patients with asymptomatic carotid artery stenosis of 60% or greater reduction in diameter and whose general health makes them good candidates for elective surgery will have a reduced 5-year risk of ipsilateral stroke if carotid endarterectomy performed with less than 3% perioperative morbidity and mortality is added to aggressive management of modifiable risk factors.
Babandotan sebagai tanaman obat
Bandotan tergolong ke dalam tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring,tingginya sekitar 30-90 cm, dan bercabang. Batang bulat berambut panjang, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang (compositae), helaian daun bulat telur dengan pangkal membulat dan ujung runcing, tepi bergerigi, panjang 1-10 cm, lebar 0,5-6 cm, kedua permukaan daun berambut panjang dengan kelenjar yang terletak di permukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk berkumpul 3 atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, warnanya putih. Panjang bonggol bunga 6-8 mm, dengan tangkai yang berambut. Buahnya berwarna hitam dan bentuknya kecil. Daerah distribusi, Habitat dan Budidaya Bandotan dapat diperbanyak dengan biji. Bandotan berasal dari Amerika tropis. Di Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan di ladang. Tumbuhan ini, dapat ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, dan sekitar saluran air pada ketinggian 1-2.100 m di atas permukaan laut (dpl). Jika daunnya telah layu dan membusuk, tumbuhan ini akan mengeluarkan bau tidak enak. Nama Lokal : NAMA DAERAH: Sumatera: bandotan, daun tombak, siangit, tombak jantan, siangik kahwa, rumput tahi ayam. Jawa: babadotan, b. leutik, babandotan, b. beureum, b. hejo, jukut bau, ki bau, bandotan, berokan, wedusan, dus wedusan, dus bedusan, tempuyak. Sulawesi: dawet, lawet, rukut manooe, rukut weru, sopi. NAMA ASING : Sheng hong ji (C), bulak manok (Tag.), ajganda, sahadevi (IP), billy goat weed, white weed, bastard agrimony (I), celestine, eupatoire bleue. NAMA SIMPLISIA: Agerati Herba (herba bandotan), Agerati Radix (akar bandotan). Penyakit Yang Dapat Diobati :Herba ini rasanya sedikit pahit, pedas, dan sifatnya netral. Bandotan berkhasiat stimulan, tonik, pereda demam (antipiretik), antitoksik, menghilangkan pembengkakan, menghentikan perdarahan (hemostatis), peluruh haid (emenagog), peluruh kencing (diuretik), dan pelumuh kentut (kaiminatit). Daun bandotan dapat digunakan pula sebagai insektisida nabati. Selain Ageratum conyzoide.s L., terdapat bandotan varietas lain yang mempunyai khasiat yang sama, yaitu Ageratum haoustonianum Mill. Ekstrak daun bandotan (5% dan 10%) dapat memperpanjang siklus birahi dan memperlambat perkembangan folikel mencit betina (virgin dan non virgin). Namun, tidak berefek pada uterus, vagina, dan liver. Setelah masa pemulihan, siklus birahi dan perkembangan folikel kembali normal. Tidak ada perbedaan efek antara mencit virgin dan non virgin selama perlakuan (Yuni Ahda, JF FMIPA UNAND, - 1993). Ekstrak daun bandotan dalam minyak kelapa dosis 20% tidak memberikan efek penyembuhan luka. Namun, pada dosis 40% dan 80% dapat menyembuhkan luka secara nyata sesuai dengan peningkatan dosis. Bahkan, efek penyembuhan luka pada dosis 80% tidak berbeda nyata dengan yodium povidon 10% (Eliza Magdalena, JF FMIPA UI, 1993). BAGIAN YANG DIGUNAKAN Bagian yang digunakan untuk obat adalah herba (bagian di atas tanah) dan akar. Herba yang digunakan berupa herba segar atau yang telah dikeringkan. INDIKASI: Herba bandotan berkhasiat untuk pengobatan: demam,malaria, sakit tenggorok, radang paru (pneumonia), radang telinga tengah (otitis media), perdarahan, seperti perdarahan rahim, luka berdarah, dan mimisan, diare, disentri, mulas (kolik), muntah, perut kembung, keseleo, pegal linu, mencegah kehamilan, badan lelah sehabis bekerja berat, produksi air seni sedikit, tumor rahim, dan perawatan rambut. Akar berkhasiat untuk mengatasi : demam. CARA PEMAKAIAN Untuk obat yang diminum, rebus 15 - 30 g herba kering atau 30 -60 g herba segar. Cara lain tumbuk herba segar, lalu peras dan air perasannya diminum. Untuk pemakaian luar, tumbuk herba segar sampai halus. Selanjutnya, campurkan minyak sayur sedikit dan aduk sampai rata, lalu bubuhkan pada luka yang masih baru, bisul, eksim, dan penyakit kulit lainnya (seperti kusta/lepra). Cara lain, giling herba kering menjadi serbuk, lalu tiupkan ke kerongkongan penderita yang sakit tenggorokan. Selain itu, daun segar dapat diseduh dan air seduhannya dapat digunakan untuk membilas mata, sakit perut, dan mencuci luka. CONTOH PEMAKAIAN DI MASYARAKAT: Sakit telinga tengah akibat radang Cuci herba bandotan segar secukupnya, lalu tumbuk sampai halus. Hasilnya, peras dan saring. Gunakan air perasan yang terkumpul untuk obat tetes telinga. Sehari 4 kali, setiap kali pengobatan sebanyak 2 tetes. Luka berdarah, bisul, eksim Cuci herba bandotan segar secukupnya sampai bersih, lalu tumbuk sampai halus. Turapkan ramuan ke bagian tubuh yang sakit, lalu balut dengan perban. Dalam sehari, ganti balutan 3-4 kali. Lakukan pengobatan ini sampai sembuh. Bisul, borok Cuci satu tumbuhan herba bandotan segar sampai bersih. Tambahkan sekepal nasi basi dan seujung sendok teh garam, lalu giling sampai halus. Turapkan ke tempat yang sakit, lalu balut dengan perban. Rematik( istilah kedokteran : reumatik), bengkak karena keseleo Sediakan satu genggam daun dan batang muda tumbuhan bandotan segar, satu kepal nasi basi, dan 1/2 sendok teh garam. Selanjutnya, cuci daun dan batang muda sampai bersih, lalu tumbuk bersama nasi dan garam. Setelah menjadi adonan seperti bubur kental, turapkan ramuan ke bagian sendi yang bengkak sambil dibalut. Biarkan selama 1-2 jam, lalu balutan dilepaskan. Lakukan perawatan seperti ini 2-3 kali sehari. Perdarahan rahim, sariawan, bisul, bengkak karena memar Rebus 10-15 g herba bandotan dalam dua gelas air bersih sampai tersisa menjadi satu gelas. Setelah dingin, saring dan air saringannya diminum sekaligus. Lakukan 2-3 kali sehari. Tumor rahim Rebus 30-60 g herba bandotan kering segar atau 15-30 g herba kering dalam tiga gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Selain direbus, herba segar dapat juga ditumbuk. Air rebusan atau air perasannya diminum satu gelas sehari. Sakit tenggorokan (1) Cuci 30-60 g daun bandotan segar sampai bersih, lalu tumbuk sampai halus. Selanjutnya, peras dan saring. Tambahkan larutan gula batu ke dalam air perasan secukupnya dan aduk sampai rata. Minum ramuan dan lakukan tiga kali sehari. (2) Cuci daun bandotan secukupnya, lalu jemur sampai kering. Selanjutnya, giling sampai menjadi serbuk. Tiupkan serbuk ke dalam tenggorokan penderita. Malaria, influenzaRebus 15-30 g herba bandotan kering dalam dua gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Setelah dingin, saring dan minum sekaligus. Lakukan dua kali sehari. Perut kembung, mulas, muntah Cuci satu buah tumbuhan bandotan ukuran sedang sampai bersih, lalu potong-potong seperlunya. Rebus dalam tiga gelas air sampai tersisa menjadi satu gelas. Setelah dingin, saring dan minum sekaligus. Lakukan pengobatan ini 2-3 kali sehari sampai sembuh. Perawatan rambut Cuci, daun dan batang bandotan segar sampai bersih, lalu tumbuk sampai halus. Oleskan hasil tumbukan ke seluruh kulit kepala dan rambut. Tutup kepala dengan sepotong kain. Biarkan selama 2-3 jam. Selanjutnya, bilas rambut Komposisi : Herba bandotan mengandung asam amino, organacid, pectic substance, minyak asiri kumarin, ageratochromene, friedelin, ß-sitosterol, stigmasterol, tanin, sulfur, dan potassium chlorida. Akar bandotan mengandung minyak asiri, alkaloid, dan kumarin.
Management of Carotid Stenosis (Treatment Option 1)
Cathy A. Sila, M.D. Medical Management : Recommendations for the treatment of a patient with asymptomatic carotid stenosis of 70 to 80%, such as the patient in the case vignette, should be based on an understanding of the adverse events that are most likely to occur and the benefits and risks of the treatment over time. The best outcome-based data for patients with asymptomatic carotid stenosis come from the Asymptomatic Carotid Atherosclerosis Study (ACAS) and the Asymptomatic Carotid Surgery Trial (ACST; Current Controlled Trials number, ISRCTN26156392 [controlled-trials.com] ).1,2 Although stroke may be the most feared consequence of carotid disease, the most common adverse event in these studies was death from myocardial infarction or other (nonstroke) cardiovascular causes. Nonfatal myocardial infarctions were not reported separately, but the rate of fatal events alone is consistent with a high risk of coronary heart disease according to the Framingham model (>20% over a 10-year period). Fatal or nonfatal strokes were the next-most-common adverse events, but only one third to one half of these strokes were ischemic and ipsilateral and could be attributed to the carotid stenosis. Aggressive medical management of vascular risk factors can reduce both coronary and cerebrovascular events in patients with carotid disease, although the definition and execution of medical therapy vary from trial to trial. In five randomized clinical trials (including ACAS and ACST) of medical therapy alone for asymptomatic carotid stenosis as compared with endarterectomy plus medical therapy, the medical therapy consisted of an antiplatelet regimen and counseling about risk factors, but the subsequent care of patients was delegated to the primary physician. Although the degree of compliance with antiplatelet therapy was reported, the degree of success with control of risk factors was not. In the ACST, the definition of best medical therapy evolved during the study, with patients in the final cohort receiving antiplatelet therapy (given to 90% of patients), antihypertensive therapy (81%), and lipid-lowering therapy (70%). Three of the five trials, including a total of 925 patients with asymptomatic carotid stenosis of more than 50%, showed no significant reduction in the risk of stroke or death with endarterectomy as compared with medical therapy alone. In the two larger trials, including a total of 4782 patients with asymptomatic carotid stenosis of 60 to 99% or 70 to 99%, adding endarterectomy to medical therapy did reduce the combined rate of ipsilateral stroke at 5 years and perioperative stroke and death (11.0 to 11.8% reduced to 5.1 to 6.4%), with low procedural risk (2.3 to 3.1%). However, the goal of preventing a disabling or fatal stroke with the use of surgery was achieved only in ACST, and that reduction of 0.5% per year means that 40 patients would need to be treated to prevent one major stroke over a 5-year period. Medical therapy alone should be recommended if procedural risks (of surgery as well as angiography) are expected to exceed 3.0%. Unfortunately, in contrast to rates in the trials discussed above, rates as high as 4.7 to 6.7% have been reported with endarterectomy in other clinical trials and in the Medicare population.3 Published postapproval carotid-stenting registries have also reported procedural risks exceeding the safety threshold set by the American Heart Association and the American Academy of Neurology. Currently, carotid stenting for asymptomatic stenosis in low-risk patients is reimbursed by the Centers for Medicare and Medicaid Services only in the context of a clinical trial approved by the Food and Drug Administration (FDA). Such patients should be referred to ongoing randomized trials — the Carotid Revascularization Endarterectomy versus Stenting Trial (CREST; ClinicalTrials.gov number, NCT00004732 [ClinicalTrials.gov] ) or the Carotid Stenting vs. Surgery of Severe Carotid Artery Disease and Stroke Prevention in Asymptomatic Patients (ACT I) trial (ClinicalTrials.gov number, NCT00106938 [ClinicalTrials.gov] ). Also, since the risks of revascularization are immediate, whereas the benefit to an asymptomatic patient is accrued only over time, high-risk asymptomatic patients with poor 5-year survival (e.g., those with previous vascular surgery, claudication, cardiac disease, an abnormal electrocardiogram, diabetes mellitus, or older age) should also be treated medically.4 Available data from the clinical trials probably underestimate the benefit that could be derived from medical intervention. For the patient in the case vignette, I would encourage lifestyle modifications including weight and girth loss, dietary counseling, and lipid-lowering therapy to achieve a low-density lipoprotein level of less than 100 mg per deciliter (2.6 mmol per liter) (with consideration of a target of <70>
Management of Carotid Stenosis (Treatment Options 3)
G. Patrick Clagett, M.D. Carotid Endarterectomy: The patient in the case vignette is an ideal candidate for carotid endarterectomy to prevent stroke because of the favorable benefit-to-risk ratio. Two large-scale, rigorous trials evaluating the use of carotid endarterectomy in asymptomatic patients with advanced stenoses (>60%) reached similar conclusions despite being carried out on different continents a decade apart.1,2 In both, as compared with the best medical therapy, the use of carotid endarterectomy resulted in a significantly reduced rate of stroke and death at 5 years (absolute risk reduction, 5.4 to 5.9%; relative risk reduction, 46.0 to 53.0%; P<0.001).>
Management of Carotid Stenosis (Treatment Options 2)
Randall T. Higashida, M.D. Carotid Stenting: Carotid atherosclerotic disease is responsible for a significant proportion of major disabling strokes and death. Effective prevention by means of revascularization is the best course of treatment, if performed at a center with an acceptably low procedural complication rate. The ACAS, published in 1995, involved 1662 patients with asymptomatic carotid stenosis of more than 60%.1 Patients were prospectively, randomly assigned to undergo either surgical revascularization or aggressive medical management. The primary outcome was any major stroke or death; the median follow-up was 2.7 years. The aggregate risk of any stroke or perioperative death over a 5-year period favored revascularization (5.1%, vs. 11.0% for medical therapy; 95% confidence interval [CI], 0.9 to 9.1; relative risk reduction, 53.6%). The authors concluded that elective surgical revascularization will reduce the 5-year risk of ipsilateral stroke if performed at a center associated with a perioperative morbidity rate of less than 3%. In 2004, the results of the ACST, a confirmatory randomized trial of 3120 patients with asymptomatic stenosis of more than 60%, were published.2 An absolute reduction of 5.3% (95% CI, 3.0 to 7.8) in the rate of the primary end point — any stroke or perioperative death at 5 years — with early treatment translated into a significant relative risk reduction of 54.0% (P<0.001). p="0.004" p="0.053">
Effect of Herpes Simplex Suppression on Incidence of HIV among Women in Tanzania
Background Infection with herpes simplex virus type 2 (HSV-2) is associated with an increased risk of acquiring infection with the human immunodeficiency virus (HIV). This study tested the hypothesis that HSV-2 suppressive therapy reduces the risk of HIV acquisition. Methods Female workers at recreational facilities in northwestern Tanzania who were 16 to 35 years of age were interviewed and underwent serologic testing for HIV and HSV-2. We enrolled female workers who were HIV-seronegative and HSV-2–seropositive in a randomized, double-blind, placebo-controlled trial of suppressive treatment with acyclovir (400 mg twice daily). Participants attended mobile clinics every 3 months for a follow-up period of 12 to 30 months, depending on enrollment date. The primary outcome was the incidence of infection with HIV. We used a modified intention-to-treat analysis; data for participants who became pregnant were censored. Adherence to treatment was estimated by a tablet count at each visit. Results A total of 821 participants were randomly assigned to receive acyclovir (400 participants) or placebo (421 participants); 679 (83%) completed follow-up. Mean follow-up for the acyclovir and placebo groups was 1.52 and 1.62 years, respectively. The incidence of HIV infection was 4.27 per 100 person-years (27 participants in the acyclovir group and 28 in the placebo group), and there was no overall effect of acyclovir on the incidence of HIV (rate ratio for the acyclovir group, 1.08; 95% confidence interval, 0.64 to 1.83). The estimated median adherence was 90%. Genital HSV was detected in a similar proportion of participants in the two study groups at 6, 12, and 24 months. No serious adverse events were attributable to treatment with acyclovir. Conclusions These data show no evidence that acyclovir (400 mg twice daily) as HSV suppressive therapy decreases the incidence of infection with HIV. (Current Controlled Trials number, ISRCTN35385041 [controlled-trials.com] Deborah Watson-Jones, M.D., Ph.D., Helen A. Weiss, Ph.D., Mary Rusizoka, Dip.Med., John Changalucha, M.Sc., Kathy Baisley, M.Sc., Kokugonza Mugeye, Dip.Med., Clare Tanton, M.Sc., David Ross, M.D., Ph.D., Dean Everett, Ph.D., Tim Clayton, M.Sc., Rebecca Balira, M.Sc., Louise Knight, M.Sc., Ian Hambleton, Ph.D., Jerome Le Goff, M.Sc., Ph.D., Laurent Belec, M.Sc., Ph.D., and Richard Hayes, D.Sc.
Kamis, 10 April 2008
Berbagai makanan segar selain mengandung zat gizi, juga bermanfaat untuk mencegah keracunan. Sulfur yang terdapat dalam telur, bawang bombay (onion), kacang-kacangan, sayuran, dan bawang putih misalnya, dapat membantu mengeluarkan racun arsenik dari dalam tubuh. Arsenik adalah elemen metal yang sangat beracun. Terdapat dengan kadar yang bervariasi dalam berbagai sumber termasuk pestisida, bahkan untuk laundry, asap rokok, asap polusi udara, garam dapur, bir, seafood, bahkan air. Bila kadar berlebih arsenik tidak dapat dicerna, akan ditimbun dalam rambut, kulit, dan kuku. Oleh karena itu, cara pemeriksaannya bisa melalui rambut. Jika seseorang mempunyai gejala keracunan arsenik kronis, periksakanlah contoh rambutnya, untuk melihat kadar racun metal tersebut dalam tubuh. Gejala keracunan arsenik berupa sakit kepala, kebingungan, mengantuk, dan kuku berubah warna. Tanda-tanda akut seperti muntah, diare, urin berdarah, kram otot, capai, rambut rontok, dermatitis, sakit perut (gastrointestinal), dan merasa mudah bingung. Efek racun arsenik ini mula-mula terjadi pada paru-paru, kulit, ginjal dan hati. Perkembangan keracunan arsenik dapat menyebabkan kanker, bahkan bisa mengakibatkan koma dan kematian. Masih segar dalam ingatan kita, peristiwa racun arsenik yang merenggut nyawa Munir, sang pejuang HAM itu. Pekerja pada industri pestisida, penyemprot insektisida dalam pertanian, pertambangan, dan industri metal, beresiko tinggi untuk terkena kanker kulit, kanker lever, kanker getah bening, dan kanker paru yang disebabkan penumpukan racun arsenik. Di alam ini tersedia cukup banyak makanan segar yang dapat digunakan untuk mengusir racun tersebut. Sulfur contohnya, dapat membantu mengeluarkan arsenik dari dalam tubuh. Jenis mineral ini terkandung dalam telur, bawang bombai (onion), kacang-kacangan, sayuran dan bawang putih. Sulfur juga bisa didapat dari suplemen bawang putih. Asam amino cysteine juga mengandung sulfur. Selain itu, sulfur juga busa diperoleh dalam bentuk tablet. Sehari-hari sebaiknya mengonsumsi banyak serat makanan, selain obat. Jika secara kebetulan terkena racun arsenik secara mendadak, segeralah minum tablet arang (norit) sebanyak 5 butir dan diminum setiap 15 menit, sampai dapat mencapai rumah sakit. Tablet ini sebaiknya dimiliki oleh setiap rumah tangga untuk berjaga-jaga jika ada masalah over dosis karena obat ini bisa dimanfaatkan.
Pemeriksaan Kesuburan Harus Dari Kedua Belah Pihak
Pemeriksaan kesuburan pada pasangan suami istri yang belum memiliki anak haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak, tidak bisa hanya menuding salah satu pihak sebagai penyebab kemandulan.Demikian disampaikan Nurhuda, dari Bagian Makmal atau reproduksi Klinik Yasmin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, di Jakarta, kemarin. Harusnya baik laki-laki dan perempuan diperiksa, tidak seperti yang selama ini terjadi di mana perempuan selalu lebih banyak disalahkan karena dianggap tidak subur. Padahal, laki-laki juga bisa tidak subur, ujarnya.Dia mengakui kemungkinan perempuan untuk tidak subur memang lebih tinggi daripada lelaki. Salah satu sebabnya adalah organ reproduksi perempuan lebih rumit dibanding laki-laki. Namun, hal itu tidak menafikan kemungkinan ketidaksuburan juga terjadi pada lelaki. Jika ketidaksuburan perempuan dapat diketahui lewat pemeriksaan oleh bidan atau dokter Obstetri dan Ginekolog, maka pada lelaki ketidaksuburan baru terlihat lewat pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dengan metode sperma analisa. Disebut juga semen analysis. Caranya tingkat kesuburan lelaki dilihat dari sisi kualitas dan kuantitas. Kuantitas berarti pemeriksaan untuk melihat jumlah spermatozoa yang terkandung dalam tiap ejakulasi. Pemeriksaan ini tergolong sederhana, terangnya.Sementara pemeriksaan kualitatif dilakukan untuk mengetahui kualitas atau mutu sperma dalam setiap ejakulasi. Pemeriksaan ini terdiri dari uji Hypo Osmotic Swelling Test(HOS) yakni pemeriksaan keutuhan ekor sperma. Tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya kebocoran atau kerusakan pada ekor sperma. Sperma berenang dalam cairan mani atau seminal plasma dengan menggerakkan ekornya. Bila ada kerusakan atau kebocoran pada ekornya, sperma tidak bisa bergerak cepat atau lurus, jelasnya.Pemeriksaan kedua disebut uji migrasi yaitu uji terhadap sperma yang mampu berpindah dari cairan mani ke dalam medium tertentu untuk mengetahui berapa banyak sperma yang mampu bermigrasi dari seminal plasma ke dalam cairan serviks. Analisa kuantitatif dan kualitatif semen ini biasanya disebut sperma analisis lengkap.SA lengkap dapat memberi informasi yang jelas dan lengkap sehingga dokter bisa melakukan pemeriksaan dan terapi lanjutan yang tepat bagi pasien, tegasnya. Lelaki yang tidak subur umumnya karena produksi spermanya kurang atau spermanya tidak bagus. Jumlah sperma yang normal adalah lebih dari 40 juta. Pada lelaki yang normal, dari jumlah tersebut hanya 40 persennya yang mati atau mortalitas di atas 50% yang bergerak. Selain itu bentuk-bentuk morfologis sperma juga mempengaruhi, termasuk di dalamnya gerakannya apakah lurus maju atau tidak serta bentuk kepalanya. Yang normal adalah yang kepalanya seperti kepala, paparnya.Bentuk yang seperti kepala sangat penting sebab diperlukan untuk bisa menembus lapisan dinding sel telur yang terdiri dari tiga lapisan. Bentuk yang tidak seperti kepala akan menyebabkan reaksi enzim yang membantu menembus dinding sel tidak berfungsi. Untuk setiap lapisan dinding sel ada enzim-enzimnya. Pertama Enzim Hialuronidase, untuk membuka dinding sel telur paling luar atau Comulus Coovorus. Enzim kedua Akrocyn, untuk membuka lapisan dinding sel kedua atau zona Pelusida. Ketiga, Corona Penetrasi Enzim, untuk menembus lapisan Corona Radiata atau lapisan telur yang paling dalam. Sperma-sperma yang jumlahnya jutaan itu harus bersaing satu sama lain. Hanya sperma-sperma yang berkualitas yang bisa menembus ketiga dinding sel itu. Tapi, hanya ada satu sperma yang bisa menembus lapisan mozaik atau lapisan paling dalam, yang nantinya akan menjadi embrio. Jadi, sebenarnya kita semua merupakan bibit-bibit unggul dari orang tua kita, seperti apa pun bentuk dan keadaan kita, tuturnya. Tanpa pemeriksaan laboratorium, ketidaksuburan pada lelaki akan sulit dideteksi. Karenanya, dia menyarankan agar para lelaki tidak merasa segan untuk memeriksakan diri dan tidak hanya menuding bahwa kesalahan ada di pihak istri.
Rasa sakit pada gastrointestinal saat datang bulan pada wanita sudah umum terjadi. Namun penelitian masih meragukan hubungan psikologis wanita dengan rasa sakit pada gastrointestinal (GI) dan sistem menstruasi. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa saluran GI merespon perubahan tingkat hormon, seperti progesterone, yang menyebabkan pembengkakan, diare, dan/atau konstipasi (sembelit) selama siklus menstruasi. Selain itu selama siklus datang bulan wanita, prostaglandin yang dikenal sebagai kondisi iritasi yang serius diproduksi dalam jumlah banyak (hormon prostaglandin adalah hormon yang menyerupai sebuah substansi yang secara langsung mempengaruhi kerja jaringan kapan saja terjadi berkontraksi sehingga menyebabkan timbulnya kram perut). Ada beberapa obat yang direkomondasikan untuk meredakan sakit saat datang bulan dan dapat mengatasi iritasi pada GI misalnya, jenis NSAIDS: NonSteroidal Anti-Inflammatory Drugs, seperti ibuprofen. Sebuah kajian yang khusus membahas masalah ini telah diterbitkan dalam American Journal of Gastroenterology pada Oktober 1998 yang menunjukkan wanita yang mengalami sindrom iritasi perut atau juga dikenal dengan Irritable Bowel Syndrome (IBS), dan juga disebut Inflammatory Bowel Disease (IBD) seperti penyakit Crohn atau ulcerative colitis lebih sering terjadi pada wanita yang mengalami masalah pencernaan dibandingkan pada wanita yang menderita masalah perut serius. Semua wanita yang mengalami iritasi pada GI selama siklus datang bulan tidak mengalami IBS ataupun IBD, meskipun harus selalu memeriksakan diri jika terdapat gejala yang serius. Berikut ini beberapa web sites yang membahas masalah tersebut yaitu: American College of Gastroenterology National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) The American Gastroenterological Association. Wanita yang mengalami dysmenorrhea (kram perut selama siklus datang bulan) cenderung mengalami masalah fungsi usus. Tetapi Anda dapat meminimalkan rasa tidak nyaman selama siklus datang bulan tersebut dengan: - Menyeleksi dan memilih makanan yang Anda konsumsi selama siklus datang bulan - Konsumsilah biji-bijian kaya serat, seperti roti olahan gandum 100% atau beras merah, dan banyak makan sayur, kurangi konsumsi gula, garam, makanan pedas, serta kafein. - ” De-stressing”(kurangi stres) - Selalu melakukan teknik-teknik penenangan diri, seperti melakukan meditasi, yoga, ataupun hanya berbagi rasa dengan seseorang - Berolahragalah secara rutin Olah raga secara rutin dapat mengurangi strees dan membantu sistem pencernaan Anda berfungsi lebih baik. Menghindari pemakaian obat diet misalnya Acutrim, karena mengandung mineral yang tidak baik untuk tubuh.
Langganan:
Postingan (Atom)