BAYI prematur memang rentan terkena penyakit. Salah satunya yang mengintai adalah retinophaty of prematurity (ROP). ROP ini menyebabkan kebutaan yang terjadi sejak bayi.
Dokter spesialis mata Rita S Sitorus SpM dari Universitas Indonesia mengatakan, anak-anak yang mengalami kebutaan mencapai 70 ribu dan 40 ribu di antaranya tinggal di Pulau Jawa.
"Penyebab kebutaan belum diketahui secara pasti. Namun, disinyalir faktor risikonya, antara lain gen atau bayi prematur," ucapnya pada saat menjadi pembicara di acara Indonesia National Workshop on ROP. Acara ini diadakan Departemen Mata FKUI/RSCM bekerja sama dengan Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM dan London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM).
Dokter spesialis mata Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Julie Dewi Barliana SpM mengatakan, ROP yaitu kelainan retina pada bayi prematur. Bayi prematur merupakan bayi yang lahir terlalu cepat atau lahir di bawah 37 minggu.
"Penyebab kebutaan anak di negara maju dan beberapa negara berkembang adalah ROP, riwayat infeksi (infeksi secara menyeluruh), bayi dengan kelainan dan pada bayi kembar, atau bisa juga terkait dengan gizi ibu hamil. Kelahiran prematur menjadi faktor risiko paling tinggi," tutur Julie di acara yang sama.
Penyakit tersebut dapat disertai gangguan penglihatan yang minimal atau disertai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah abnormal di retina. Kondisi tersebut mengakibatkan ablasio retina. Semakin muda dan kecil bayi yang hidup, semakin berisiko ROP pada bayi tersebut.
Saat ini, Juli menyebutkan, ROP lebih sering menyerang bayi laki-laki daripada bayi perempuan. "Penyebabnya memang belum diketahui pasti, tapi saya sering menangani pasien bayi laki-laki," katanya. Dia menambahkan, faktor risiko terjangkit ROP pada bayi prematur karena pemberian oksigen.
"Bayi prematur yang dirawat di inkubator dan diberi oksigen memiliki risiko ROP. Namun, tidak semua bayi prematur yang diberi oksigen rentan ROP. Begitu pun dengan bayi prematur, tidak semuanya ROP, hanya 20 persen hingga 30 persen untuk keseluruhan berat badan," kata dokter lulusan Universitas Indonesia (UI) ini.
Julie menuturkan, sekitar 20 persen bayi prematur akan mengalami strasbismus atau kelainan refraksi ketika usia mereka mencapai 3 tahun. Berdasarkan sejumlah kasus, sebaiknya beri perhatian lebih terhadap bayi prematur untuk memperkecil atau menghilangkan kemungkinan kebutaan pada anak.
"Pada bayi prematur, pertumbuhan di daerah retina mata belum sempurna dan harus diamati terus pertumbuhannya. Empat minggu setelah kelahiran harus dilakukan skrining. Pada kondisi derajat 1 hingga 5 dapat diperbaiki. Karena jika terdeteksi pada derajat 4-5 akan sulit disembuhkan. Pada derajat itu, retina mata bisa lepas sehingga terjadilah kebutaan," kata Julie.
Kendati begitu, Julie mengatakan, kebutaan dapat diatasi dengan laser atau jika sudah parah, maka dilakukan operasi.
Operasi yang dilakukan adalah tingkat operasi vitrektomi. Tingkat kesembuhan jika dilakukan sejak dini dan tepat waktu, maka hasilnya akan lebih bagus.
Upaya pencegahan, menurut Julie, harus dilakukan melalui kerja sama antaraorangtua dan dokter spesialis, serta pihak terkait lainnya seperti Departemen Kesehatan (Depkes), Pendidik, dan LSM.
"Orangtua yang memiliki anak prematur harus memeriksakan anaknya secara rutin ke dokter. Dua minggu atau satu bulan sekali datang ke dokter untuk mengecek," imbuh Julie yang mengambil spesialis mata pada 2006 di UI ini.
Dengan kesigapan orangtua dan dokter spesialis anak, maka angka kebutaan pada anak dapat ditekan. "ROP merupakan kebutaan yang dapat dicegah asalkan dilakukan pendeteksian sejak awal," pesannya.
Sumber: okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar