Peredaran suplemen kesehatan saat ini makin banyak, namun terkadang sulit dibedakan antara obat dan makanan kesehatan tersebut.
“Obat dan makanan, sama-sama masuk dalam tubuh dan zat aktif di dalamnya bekerja sehingga dosis tertentu mungkin berkhasiat bagi kesehatan, tapi dalam dosis/jumlah yang lain mungkin tidak lagi aman bagi tubuh,” ujar Purwantyastuti.
Dia mengatakan hal tersebut hari ini dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fak. Kedokteran Universitas Indonesia. Judulnya Kajian khasiat dan keamanan 'daerah abu-abu antara obat dan makanan: Bagaimana kebenaran disampaikan.
Menurut dia, obat dan makanan sama-sama mempengaruhi kondisi tubuh. Dan saat ini hadir 'daerah abu-abu' bagi masyarakat, di mana terdapat produk berbentuk seperti obat (tablet, kapsul, sirup) yang sebetulnya merupakan bagian dari pangan yaitu food supplement (suplemen).
"Misalnya kapsul vit E, tablet calcium, produk berbentuk pangan (aroma dan rasa enak), yang mengklaim khasiatnya lebih dari fungsi gizinya, yaitu mempengaruhi fungsi tubuh, sehingga kadang sulit dibedakan dengan obat," katanya.
Dia menyebutkan misalnya susu yang ditambah kalsium untuk mencegah osteoporosis. Ada juga pangan khusus yang sebetulnya hanya diperlukan oleh konsumer tertentu saja, misalnya pasien diabetes, atlet binaraga, atlet endurance (maraton).
Tidak semua konsumen, bahkan produsen, ataupun pihak lain yang terlibat dengan peredaran dan pemasaran suplemen, menyadari bahwa sebetulnya suplemen adalah bagian dari pangan.
Suplemen, katanya, mengandung bahan yang berasal dari makanan sehari-hari, yang karena sesuatu hal perlu ditambah (itulah asal kata suplemen).
Contoh paling mudah, lanjutnya, adalah yodium untuk daerah pegunungan atau mineral, kalsium bagi ibu hamil. Timbul masalah ketika istilah yang dipakai adalah 'suplemen kesehatan'. (tw)
Sumber: Bisnis Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar