Rabu, 09 April 2008

Partikel Nano Ancam Kesehatan

Partikel nano, yaitu partikel berukuran kurang dari 0,1 mikronmeter, bisa mengganggu kesehatan. Manifestasinya mulai dari infeksi paru sampai kanker. Toksisitas partikel tergantung dari jumlah dan ukuran senyawa kimia, logam berat, atau kuman yang ada bersama partikel itu.
Hal itu diungkapkan Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto, Senin (23/7) di Depok. Menurut Budi, partikel berukuran 10 mikronmeter atau dikenal dengan istilah PM 10 hanya mencapai saluran pernapasan bagian atas. Partikel ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan bagian atas, seperti batuk, pilek. Adapun partikel berukuran 2,5 mikronmeter (PM 2,5) mampu mencapai paru dan menyebabkan bronkitis, infeksi paru (pneumonia) penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan kanker paru. "Yang paling berbahaya adalah partikel berukuran 0,1 mikronmeter ke bawah. Partikel ini mampu menembus dinding sel paru, kemudian ikut peredaran darah menuju organ target seperti otak, sistem saraf pusat, dan sebagainya. Partikel ini bisa ditumpangi senyawa kimia, seperti benzena atau logam berat, misalnya timbal serta kuman penyakit. Jika kuman penyakit langsung menyebabkan gangguan kesehatan, senyawa kimia dan logam berat bersifat akumulatif. Jika mencapai jumlah tertentu, itu baru menimbulkan gangguan, seperti penurunan daya pikir maupun kanker," papar Budi. Penelitian awal yang dilakukan Budi tahun 2005 menunjukkan, jumlah partikel nano dalam rumah tangga, tempat kerja, ruang kelas, kendaraan umum dan pribadi, dan jalanan di Jakarta cukup tinggi. Penelitian menggunakan alat yang dibawa subyek sepanjang hari untuk mengukur jumlah partikel nano yang dihirup subyek (anak dan orang dewasa). Di rumah, zat berbahaya berasal dari sisa pembakaran, misalnya minyak tanah, kayu, batu bara, serta zat kimia, seperti insektisida. Di kantor, zat berbahaya antara lain partikel karbon dari tinta mesin fotokopi dan printer, zat kimia pembersih karpet, insektisida, asap rokok, serta bahan biologi, misalnya kuman, jamur yang terbawa pekerja dari luar.
Sementara di luar ruangan polusi berasal dari asap kendaraan dan pabrik, kebakaran hutan, dan aktivitas gunung berapi. Bensin tanpa timbal, kata Budi, menggunakan senyawa aromatik. Hal ini mensyaratkan penggunaan catalytic converter di knalpot untuk menghambat 95 persen emisi gas buang. Namun, di Indonesia hal itu tak disosialisasikan. Padahal, partikel hasil pembakaran berupa benzena bisa menyebabkan kanker darah dan gangguan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar